Senin, 12 Januari 2015

22 Tahun, Dan Apa Saja?

                               
-Sedikit Renung

Perpindahan adalah peralihan sesuatu dari satu objek ke objek yang lainnya. Dalam setiap perpindahan kita akan selalu mengenal kata "transisi". Transisi juga dapat diartikan sebagai kenalan baru, yang akan selalu siap menuntun kita menuju jalan berikutnya.!
Oke, jika saat ini ibarat masa transisi. Apa yang ingin kamu kenal, dan siapa yang ingin kamu kenang? Pertanyaan inilah yang akan membuka semuanya, dalam hal apa yang telah terlewati, dan yang ingin dilewati. Tidak akan jauh.!
Mungkin dengan sedikit merenung bukanlah jalan keluar dari gelapnya suasana perkampungan menuju terangnya masyarakat kota. Dia bisa saja hanya akan membujukmu untuk membaca selembar buku, setelah itu kamu sudah dapat tidur dengan lelap. Atau untuk imsomnia, berkhayal adalah teman yang baik.
Dapat pula kau sedikit menggambarkan ibumu yang seorang Guru Sekolah Dasar. Tentang kesibukannya, tentang cemohannya jika kau bermain diluar dan lupa waktu untuk makan. Pasti kau ingat.! Atau kau ingin kembali? tentunya.! Tapi sudahlah, kita sudah dewasa dan harus sedikit lebih cemas. mungkin.! 
Kau harus menerima kenyataan bahwa pasir dan pinggir pantai sebagai tempat bermainmu kita telah disulap menjadi Ruangan berAC dengan beberapa lampu hias. Tiada lain kau harus belajar tentang tuntutan, kesibukan juga waktu yang terbatas. juga hitung temanmu yang sitiap hari semakin berkurang.
"Kau harus lebih dari ayah dan ibu", serta kalimat ini. belajarlah untuk mengingat.! 
Kita bisa saja memaparkannya satu persatu sesuai pandangan masing-masing, tak perlu menunggu pagi sambil tersedianya hidangan di meja makan. Tapi sudahlah, saya yakin kita semua tahu seperti apa esensi dari setiap relasi yang disebutkan tadi.
Keluarga adalah sanak saudara, dalam hal ini ayah, ibu dan anak. Setiap saat diantara pikiran yang yang sangat kompleks, berpikir tentang seperti apa dan bagaimana keluarga nanti kadang jadi obat penawar. Mungkin.! Siapa yang tak menginginkannya? Saya masih yakin bahwa tak ada satupun. Kecuali mereka yang sudah tidak memiliki perencanaan untuk kedepannya.

Lagi-lagi kita mesti memiliki perencanaan, tentang mimpi, pula bukan hanya memiliki seorang buah hati menjadi tujuan hidup ini. Sepertinya putus generasi bisa jadi alternatif, dimana budaya semacam patriarki dan matriarki harus lebih intens diperdengarkan dalam ruang lingkup keluarga. Yang sering saya temui adalah kalimat “Jangan main kedapur nak, nanti ini, nanti itu” untuk seorang anak laki-laki. Seakan dapur adalah senyawa kimia berbahaya yang apabila disentuh akan mengakibatkan kematian. Itu adalah paham lama, keadaan sosial telah berubah. Ibarat Kitab yang diturunkan sesuai keadaan alamnya. Pembeda perempuan dan laki-laki hanya pada buah dada dan kelaminnya, untuk persoalan tenaga dimana yang santer terdengar ditelinga bahwa laki-laki lebih kuat dari wanita itu menurutku keliru. Karena memang sedari kecil lelaki selalu dipekerjakan dengan pekerjaan berat dan perempuan hanya didapur. Sebagai bukti, banyak perempuan yang jadi atlet angkat besi kok. Kan?
Menurutku Ini hanya persoalan kebiasaan (Budaya) yang terbangun di masyrakat. Semua terbentuk tidak begitu saja, tapi memiliki sejarah. Jadi mari minum kopi dan membaca beberapa lembar buku bersama keluarga.
Lantas mengapa kita harus menaruh ini dibagian akhir? Sebab inilah yang paling banyak dilupakan masyarakat pada umumnya. Tentang bagaimana relasi itu mengalienasi, bagaimana kerja itu mengambil waktu sehingga kadang lupa berkumpul bareng keluarga, tentang bagaimana kita mempekerjakan buruh tidak sesuai dengan upahnya, tentang bagaimana seorang bos hanya ungkang-ungkang kaki dan tetap menerima gaji, tentang persaingan yang selalu memunculkan ide-ide baru yang merugikan dan banyak manusia. Tapi sudahlah, saya sudah capek untuk melanjutkan tulisan ini, mungkin lain waktu.

-Warna dan Konsep
"Relasi" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan hubungan. Hal ini sangat penting untuk kelangsungan hidupmu sekarang dan kedepannya. Seperti kata Aristoteles "Manusia adalah makhluk sosial". dalam artian manusia tidak akan dapat bertahan hidup (Survive) tanpa bantuan manusia lain.
Relasi memiliki banyak macam, baik relasi pertemanan, pacaran, keluarga, rekan kerja dll.
Hubungan antar individu yang ada dalam sebuah relasi tidak jauh beda dari setiap yang ada, mereka memiliki konsekwensi dan hukum alamnya masing-masing. Biarlah.! Yang jelasnya Teman adalah Mereka yang akan siap bersamamu dalam kondisi apapun. Dan jangan lupa, teman yang baik adalah mereka yang tak sekedar berbagi makanan, tapi juga mereka yang bisa saling berbagi hidup (Dalam artian luas), sebab menurutku banyak hal yang lebih urgent dari sekedar ngumpul dan bermain gadget.Tanya mereka persoalan alam yang mulai gelap, tentang eksploitasi yang meluas atas nama perusahaan, tentang pangan yang dimonopoli kaum pemodal.
Pacar pun tak jauh beda, dia memiliki kemiripan. Hanya saja dalam konteks sekarang, banyak yang keliru memaknainya. Otomatis kelenjer mata jadi memerah dan tak berdaya. Tapi seandainya saja kita ingin belajar, akan lain ceritanya. Saya yakin.!
“Jatuh cinta itu biasa saja” (Efek Rumah Kaca) kutipan ini tidak saya maknai bahwa cinta dengan kata "biasa saja" ini tak memiliki makna, tapi kita pasti paham seperti apa pemaknaan cinta di dalam masyrakat kita sekarang (Lebih jelasnya, dengarkan lagunya). Tak ada hal yang mesti dilebih-lebihkan, karena memang semuanya sederhana saja. Terlampau lagi bahwa semuanya bisa menjadi hal yang berlebihan dan tak terkendali. Makanya kita hanya perlu sedikit santai dalam bermain. Seperti kata joker “WHY SO SERIOUS?”. Karena setahuku tatanan yang ada hanyalah sebuah permainan. Permainan yang tidak adil. Jadi untuk menghadapinya, kita hanya butuh permainan pula.! “Jika jatuh cinta itu buta, berdua kita akan tersesat. Saling mencari di dalam gelap, Kita berdua tak hanya sekadar menjalani cinta, tapi menghidupi” (ERK-JBS).
Rekan kerja adalah mereka yang satu perusahaan dengan kita dan memiliki hubungan bisnis.
“Peradaban memang sebuah istana diatas bukit tengkorak manusia. Bukit itu akan terus bertambah tinggi, jika kau tidak mencoba mengerti.” Perang Hayat




Selasa, 06 Januari 2015

MEREKA DEWASA KARENA DIPELIHARA

-RUTIN MENANGIS
Mereka tak hanya sekadar sedang menggelar sandiwara, pula malas mencari meskipun itu tentang dirinya sendiri. Jangan harap mau melawan, hal terkecil pun selalu diawali dengan mengabai.
Manakala, iya manakala diri sendiri masih menetek dan tunduk pada usia di pemukiman tertentu. Ahlinya selalu menawar, menawar untuk menundukkan segala sesuatu, yang esensinya persis dengan dirinya sendiri. 
Akhir-akhir ini dia sering tertawa, kadang marah apabila bekerja. hanya pada saat bekerja.!
Selalu bangga pada hari-hari besar karena dapat berkerumun ditengah arus. Menyanyi dan berkuasa, itulah waktunya mereka menggelar perayaan. Mana pernah menang?
Berangkat dari sesuatu yang dibangun dengan hirarki, tapi heran kenapa melawan hirarki yang ada.
Bingung, seperti apa mereka menuju, juga seperti apa nanti selepas dipemukiman itu.
Sudahlah.! mereka dominan.

-KADANG BERANTAKAN DAN IRONIS
Budaya ini telah lama berjalan. Identitasnya telah melekat bukan hanya hari ini. alasannya karena mereka menolak kemapanan. Tapi adakalanya hilang seketika, ketika gemilang dan hegemoni mengarah ke hal lain.
Hal yang ditolak pada dasarnya dominasi, namun lagi-lagi mendiminasi. selalu mengeksiskan diri dengan pembesar suara yang nyaring.
Sudah, mari belajar dulu...
Membangun tak mesti harus meledakkan dan berantakan...

Sering saya jumpai, sangat sering.! Hal ini berkaitan dengan label intelektual yang berguna kearah yang parah. Kasian mereka yang punya kekuatan minimal. Akhirnya juga menggunakan usia dan bahasa untuk menjalankan hal yang mereka rasakan. Subjek bukan lagi hal yang penting bagi setiap individu. Tak ada yang bisa berkomentar apabila telah terlontar. Kasar.!
Manipulasi yang abstrak, manejemen yang baik dan berguna untuk mengeksiskan sesuatu yang dianggapnya benar.

Tapi jika dihari nanti ada yang peka dan melawan, sebaiknya sama-sama mati. Atau paling tidak jangan ada yang menyerah.!

Senin, 05 Januari 2015

LOW-LOW SLOW

Semestinya kita mengangguk saat ditanya...
Tentang musik dan kenangan...
Kenapa???
Sebab kita terlalu takut terlelap...


Hahahaha...
Muak, Muak, Muak...

Dimana saja ada gelap disana pula ada terang dan bias...
Kenapa???
Kita terlalu takut tersesat...


Ayolah mencoba selagi masih dikutuk...
Jangan... Malas bergerak dan sedih....
Ah, kita kaku dalam berteriak dan egois...
Dalam banyak hal... sebenarnya...

Kita telah tua dan cemas...

Okelah... Sudahlah...
Kalau masih ingin bahagia...
Mati saja...
Hahahaha...


Minggu, 04 Januari 2015

PEKARANGAN CAHAYA

“CAHAYA HARUS HILANG, JIKA DIA TIDAK CUKUP”
JANGAN DIBACA, INI SEKADAR KELUHAN

-MARI MINUM KOPI (Kamar tanpa jendela)
Cerita ini bukan petunjuk menuju laut lepas, juga bukan bagaimana politik yang rakus diberlakukan di dalam sebuah hubungan, percintaan. Lebih lanjut baca sendiri!!! Sejam yang lalu aku masih memikirkannya, lalu lalang tak ingin pergi namun hal itu semestinya biasa saja dipikiran, tapi sepertinya kita masih punya batang tubuh yang lain selain pikiran. Mungkin rokok dan kopi adalah solusi yang baik untuk menenangkan pikiran, lalu tidur dan hilang.
Langsung saja, niat untuk berbagi setahun yang lalu tak berakhir sampai saat ini, iya berbagi, bukan tidur apalagi kuliah. Mereka, karena dia banyak. Senjata utamanya hanya makan dan merokok, sebagai pelengkapnya dia jg minum kopi dan dia sangat keren dengan rutinitasnya itu, tapi bisa saja kesenangan bukan mangsa yang harus diburu apalagi jadi impian untuk diri sendiri. makanya dari sekarang kita harus bergerak, bukan ke MC DONALD ataupun ke PIZZA HUT untuk selfie. Pikir saja sendiri kemana.!
Diawali dari curahan hati yang dilisankan melalui mulut, dia bercerita banyak dan akhirnya menimbulkan beberapa percakapan, percakapan inilah yang mengawali kebersamaan. Kebersamaan yang menjadi pembuka prinsip hidup bahwa dunia akan berubah apabila kita diam dirumah. Rumahku adalah surgaku dan tak ada keresahan diluar sana yang mesti kita pikir dan urgent. Karena rumah adalah miniatur surga untuk kita sendiri “bukan untuk orang lain”, makanya kita  mesti meyakini bahwa semua orang diluar sana baik-baik saja dengan hidangan spaghetti yang di pesan dari mall-mall. Tak cukup sampe disitu, setiap hari kita juga makan, merokok dan berdiskusi di surga yang kami tempati, penerapannya pun harus dalam surga itu sendiri. Mudah-mudahan teman-teman paham apa itu surga yang saya maksud, kecuali kalau teman-teman langsung membaca dari bagian ini dulu.
 Oke, Kalaupun tulisan ini mesti dibaca oleh orang lain “Kita bukan penikmat cahaya yang rakus, dari ancaman kegelapan di rumah sebelah.” Izinkan kalimat ini terbaca.
Iya kita butuh makan untuk membuncitkan perut yang sedang lapar, kita butuh merokok dan ngopi untuk menafkahi imajinasi, dan kita butuh istirahat untuk menghemat semangat, dan mungkin kita juga butuh beer untuk menenangkan pikiran yang sedang bercerai-berai. Apalagi teman, kita sangat butuh itu untuk melanjutkan pikiran yang “kosong” dan badan yang hanya digunakan untuk “Istirahat”.
Terbukti, “Atap yang menjadi bagian tertinggi dari sebuah rumah tak mampu melihat tiangnya sendiri, dia tak ingin roboh dan jatuh bersama-sama meskipun mereka tahu bahwa ada yang lelah menopang, kalau begitu “atap” harus siap menahan hujan ataupun badai yang kapan saja bisa datang.”
Saya masih gelagap dan sering diam, cahaya yang rutin mungkin bisa jadi isyarat bahwa kegelapan tak ada dimanapun “Kata mereka yang ada didalam rumah tak berjendela”. Karena kita tak boleh terlalu serius kata Joker, makanya kita hanya bisa menangis saja. Iya menangislah, karena ibumu melahirkanmu  hanya untuk menangis.Apalagi ada banyak diluar sana yang bisa membantumu jika kau butuh.
Sepertinya sebelum tulisan ini selesai, saya harus sakit kepala dulu. Saya juga penikmat rokok, tapi saya menulis kok. Abadi atau tidak kita dengan menulis, bukan masalah. Cuman ingin pusing saja, selain curhat.
-HITAM ADALAH WARNA FAVORIT KAMI
(Teman, saya benci filosopy lilin)
Oh ia saya ingat, saya punya sahabat. Bukan teman, karena kalau teman saya punya banyak. Kalau alasan kesamaan mungkin bukan, kenapa sampai saat ini kami masih sering ngumpul. Sebagian perokok, sebagian lagi tidak dan mungkin itu bukan kesamaan. Ah lupakan saja, saya tidak perlu alasan untuk tetap bersama kok. Jelasnya saya cinta dia, karena dia cinta orang lain.
Bertiga, kami punya tanggung jawab untuk menjawab teka-teki yang bermunculan, Mulai dari masalah persahabatan, respon atas permasalahan dikampus dan lingkungan sekitar, sampe di masalah percintaan sekalipun. Parah bukan? Makanya jangan dicontoh!
Kedua sahabat saya itu sering konflik, tapi waktu harus dicaci kalau dia memberi jarak yang terlalu jauh untuk menyatukan mereka kembali. Hitam adalah warna favorit kami bertiga, hitam yah mungkin bisa disebut kumpulan cerpen yang sering kami baca lalu kami jadikan titik acuan untuk bertindak. Hehehe…
Sudah, itu saja. Lagian dia sudah punya dampingan masing-masing kok. Nah kalau saya, semoga dia yang akan saya cintai sedang membaca buku sekarang. Bukan bermain gadget kesayangannya, tapi dia yang siap untuk bersamaku membangun rumah tangga dengan pintu yang bergambarkan huruf “A” dalam lingkaran.
Satu hal “Pengorbanan bukan bagaimana filosopy lilin itu berjalan,  Tapi bagaimana cahaya yang lebih itu bisa terbagi. kalaupun tidak cukup, memusnahkannya bisa jadi alternatif. Tapi sayangnya sesuatu itu takkan berubah apabila kita hoby berdiam diri, rembulan saja bergerak masa kalian diam? Setidaknya munculkan cahaya”.
-TIRANI DI SIANG HARI (Maaf saya diam saja)
Hari ini saya datang lagi, senin 28 oktober 2014. Dengan sambutan selamat datang dan silahkan masuk, saya bergegas masuk di sebuah surga persis di tahun kemarin, hanya perpindahan yang jadi pembeda. Menerawan suasana, yah masih tetap sama, ada yang bermain domino juga ada yang sedang merenung tak jelas. Aku masih saja menemui sebuah kotak persegi dengan kebingungan didalamnya. Hari itu saya hanya ingin memastikan bahwa masihkah surga itu tak bermakna? Ternyata masih, dan mereka masih mencicipinya. Saya harap ketidakbermaknaan itu tak menular seperti penyakit cacar yang berbahaya.
Tirani, aku melihat tirani diruangan kecil. Sebenarnya ruangan itu muat untuk kami semua. Namun entah apa penyebabnya, kami harus menerima bahwa tempat malam ini adalah tidur melantai karena katanya kasur besar itu hanya muat 2 orang. Ah mungkin dunia memang hanya untuk mereka yang sedang bercinta, dimana perempuan dengan bugil memperlihatkan bahwa tirani adalah hal yang tak perlu dipikirkan jika aku sedang berdua.
Aku putuskan untuk pulang, bagaimana tidak jika kamar di rumah lebih asyk untuk ditempati istirahat ketimbang disini, saya harus muak dalam hati dengan menonton beberapa adegan.
Sebelum pulang, ada beberapa lembar uang yang disodorkan dari penghuni kamar yang notabene seorang militer dengan bangganya baru saja memakai baju dari dalam kamar. Tapi sayang, uang bukanlah hal berarti ketimbang kebenaran yang harus saya sesatkan. Lebih baik aku menulis.
Sekali lagi, saya menulis ini bukan untuk eksistensi. Tapi hanya ingin sekedar berbagi.
Jadi silahkan nikmati cuaca apapun menghadapi musik dan kopi di depan anda. Sampai jumpa.!!!

Gowa, 27 Oktober 2014 

Jumat, 25 April 2014

Reingkarnasi

Duniawi begitu terarah.
Sangkala yang mulai pasrah.
Rentetan angkara.
Iringi wadah.

     Piluku mulai nikmat.
     Sekuntum suka cita.
     Berjalan bersamaan.
     Tak ada sang penonton.

Ketakutan melebur.
Tertanam tanpa menanam.
Aku pagi.
Tanpa malam.

     Dendam kuantitas.
     Instan yang nikmat.
     Aku kini ketiadaan.
     Ada perlu ada, 
     jika semua hilang dan tiada.

Selasa, 10 Desember 2013

Kawan lama kemana saja?



Kawan lama??? kemana saja, kenapa baru muncul? lama kita tak bersua...
kawan lama, mana botol yang sering kau tunjukkan padaku? kau masih yang dulu kan?...
kamarmu masih gelap, kemana arah kapinya? dan santapan pil berwanrnamu...
kenapa diam? kawan, asap rokokmu menghalangi pandanganku, aku ingin melihat, aku jenuh dengan kebutaan ini...
atau kau memintaku pergi? ataukah kau tak ingin berimagi bersama layaknya kita? senandung lirih diatas dermaga, atau harus kubenarkan kata mereka bahwa kopi sajianmu dulu itu di dalamnya ada beberapa tetes hina?...aku butuh cahaya kawan, setetes saja untuk melanjutkan hidupku, jangan biarkan aku mengarah ke bukit sana, disini gelap, tak sedikitpun ada cahaya...
kawan, mungkin saja esok tak ingin melihatku lagi, kawan, mungkin saja esok kawan barumu tak memarahimu jika kau khilaf, mungkin saja kawan barumu hanya melihat perhiasan mengkilatmu...
kawan, tempat ini semakin gelap. kemana arah tanganmu? kemana aku hendak menggapainya?....
atau kuiris saja tangan kanan ini dari pecahan botol kemarin?,,,
Kawan, aku duluan, jangan ikuti sedikitpun langkah yang pernah kulalui kemarin, terlalu banyak duri, apalagi sendiri....!!!!

Minggu, 06 Oktober 2013

Pertarungan antar kelas sosial




Karl Marx adalah salah satu pemikir ilmu sosial yang paling fenomenal. Karya-karyanya hingga saat ini banyak dikaji dan dipelajari oleh banyak kalangan. Pemikiran Marx diakui telah memberi warna lain bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial. Pemikirannya menimbulkan banyak kontroversi. Dikritik dan dimusuhi oleh banyak kalangan, tetapi tak sedikit pula yang mendukung dan memujinya.

Berbeda dengan pemikir ilmu sosial lain seperti Emille Durkheim atau Max Weber, pemikiran tokoh yang terusir dari tanah kelahirannya sendiri ini mencakup banyak disiplin ilmu. Marx dikenal sebagai ekonom, sosiolog, ilmuwan politik, sejarawan, dan sekaligus filosof. Teori-teorinya dipandang sebagai yang paling komprehensif menjelaskan berbagai aspek individual dan sosial, mencakup aspek kehidupan manusia, ekonomi, agama, politik, filsafat, stratifikasi sosial, untuk menyebut beberapa.[1]

Teori-teori yang dibangun Marx juga tidak sekadar berhenti pada tataran penjelasan atas fenomena semata, tetapi lebih dari itu menjadi inspirasi bagi perubahan di berbagai belahan dunia. Hal ini tentu tak lepas dari kritiknya atas filsafat saat itu yang dipandangnya tidak memberi kontribusi apapun bagi perubahan kehidupan manusia ke arah yang lebih baik. Salah satu pernyataannya yang terkenal, “Para filosof hanya menginterpretasikan dunia secara berbeda, yang perlu ialah mengubahnya!”[2]

Marx memang mengarahkan filsafat dan ilmu pengetahuan untuk menjadi pendorong bagi perubahan. Hal ini beranjak dari keprihatinannya akan ketimpangan yang terjadi dalam sistem kapitalisme yang mengiringi industrialisasi berkembang pesat di Eropa masa itu. Dalam konteks itulah, Marx coba mengetengahkan pemikiran praksis, yang menjelaskan fenomena yang terjadi di masanya itu yang sekaligus juga menjadi “petunjuk” bagi perubahan.



Teori Kelas

Salah satu pemikiran Marx yang memiliki pengaruh sangat luas adalah teori kelas. Dilandasi oleh pemikiran dasarnya “materialisme-dialektika historis”, Marx memandang perjalanan sejarah umat manusia sejak dulu hingga sekarang adalah sejarah perjuangan kelas. Pernyataannya yang terkenal dalam manifesto komunis, “The history of all hitherto existing society is the history of class struggles.”[3] Baik itu pada masa purba, masa feodal, atau masa kapitalis seperti yang sedang menggejala saat itu, Marx selalu melihat terdapat pertarungan antara kelas yang berkuasa dengan kelas yang dikuasai. Dalam masyarakat kapitalis, kelas-kelas tersebut adalah kelas majikan (borjuis) dan kelas buruh (proletar).

Mengapa pertarungan itu bisa terjadi? Marx menyatakan karena ada kontradiksi dalammode of production kapitalisme. Pertama, capitalist mode of production telah menimbulkan perbedaan pemilikan. Kelas majikan memiliki alat-alat produksi (pabrik, mesin, tanah, dsb.). sementara kelas buruh tidak memiliki tempat atau alat produksi apapun. Satu-satunya yang mereka miliki adalah tenaga kerja, yang itu pun terpaksa mereka jual untuk menyambung hidupnya.

Kedua, capitalist mode of production juga menimbulkan alienasi pada kelas buruh terhadap hasil kerjanya[4]. Kaum buruh sama sekali tidak bisa menikmati produk yang dihasilkannya. Mereka hanya berhak menerima upah sebagai nilai tenaga kerja yang sudah mereka keluarkan. Produk tersebut sepenuhnya menjadi milik kelas borjuis, kaum pemilik modal yang menikmati keuntungan dari surplus value dari harga setiap produk yang dijualnya.

Ketiga, akumulasi kapital dan persaingan di antara kelas kapitalis dalam capitalist mode of production ini menyebabkan meningkatnya eksploitasi terhadap kelas buruh.[5]Karena persaingan ini, mereka akan berlomba-lomba untuk menurunkan harga jual produk agar selalu laku dibeli konsumen. Agar tetap bisa meraup keuntungan, cara yang dilakukan oleh kelas pemilik modal adalah dengan terus menurunkan satu-satunya nilai variabel dalam proses produksinya, yaitu upah buruh.

Singkatnya, hubungan antara dua kelas itu pada dasarnya adalah hubungan kekuasaan: yang satu berkuasa atas yang lain. Kekuasaan itu –yang pada hakikatnya berdasarkan kemampuan majikan untuk meniadakan kesempatan buruh untuk bekerja dan memperoleh nafkah—dipakai untuk menindas keinginan kaum buruh untuk menguasai pekerjaan mereka sendiri, untuk tidak dihisap, agar kaum buruh bekerja seluruhnya untuk mereka. Karena itu, kelas pemilik modal pada hakikatnya merupakan kelas penindas.[6]

Kontradiksi-kontradiksi dalam hubungan produksi kapitalis di atas diramalkan Marx akan berlanjut terus menerus. Pertentangan kepentingan antar dua kelas ini akan semakin tajam. Apalagi persaingan antar kapitalis di sisi lain juga mengakibatkan sebagian kaum kapitalis yang tidak mampu bersaing bangkrut, dan jatuh menjadi kelas buruh yang hanya mengandalkan tenaga kerja sebagai satu-satunya alat produksi. Dengan jumlah yang terus membesar, di tengah himpitan yang semakin kuat, akan menumbuhkan kesadaran kelas di antara kaum buruh sebagai kaum tertindas untuk melakukan perjuangan kelas meruntuhkan formasi kelas yang ada untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas.



Adakah Kelas dan Pertarungan Kelas di Indonesia?

Kapitalisme di Indonesia, sebagaimana di negara-negara lain di berbagai belahan dunia, tentu saja sudah berkembang jauh berbeda dengan kapitalisme sebagaimana dilihat oleh Marx di Eropa pada masanya. Walaupun demikian, beberapa ciri pokok seperti diuraikan di atas masih bisa ditemukan di sebagian besar industri di Indonesia. Kaum buruh masih hanya mengandalkan tenaga kerja sebagai satu-satunya force of production yang dimilikinya untuk dijual kepada pemilik modal. di sisi lain, para pemilik modal masih terus menikmati surplus value yang dihasilkan dari setiap produk yang dijualnya.

Akan tetapi, adakah pembagian kelas sebagaimana diuraikan Marx di Indonesia? Satu hal yang perlu digaribawahi, Marx tidak pernah memberi definisi yang jelas atas konsep “kelas” yang panjang lebar diuraikannya.[7] Dalam hal ini, Franz Magnis-Suseno menguraikan ada dua anggapan. Anggapan pertama adalah berdasarkan definisi yang dsampaikan Lenin yang menyatakan “kelas sosial” sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi. Anggapan kedua menyatakan bahwa sebuah kelas baru dianggap kelas dalam arti sebenarnya, apabila dia bukan hanya “secara obyektif” merupakan golongan sosial dengan kepentingan tersendiri, melainkan juga “secara subjektif” menyadari diri sebagai kelas, sebagai golongan khususdalam masyarakat yang mempunyai kepentingan-kepentingan spesifik serta mau memperjuangkannya.

Dalam konteks tesis utama Marx mengenai perubahan kapitalisme menjadi komunisme, tentunya anggapan kedua lah yang harus dipakai. Dengan dasar anggapan ini, harus diakui bahwa kelas belum sepenuhnya tercipta di Indonesia. Kaum buruh belum sepenuhnya memiliki kesadaran subjektif sebagai satu kelas yang sama sekali berbeda kepentingan dengan kaum pemilik modal dan mau memperjuangkan kepentingannya itu. Ketiadaan ciri kelas ini bisa dilihat dari beberapa faktor.

Pertama, kapitalisme sejatinya adalah “barang impor” yang dibawa oleh kolonialis VOC (lalu Belanda) ke bumi nusantara. Dalam menjalankan ekonomi kapitalis, pemerintah kolonial banyak memanfaatkan (dan berarti tetap memelihara) struktur feodal yang ada di kerajaan-kerajaan nusantara. Alhasil, berbeda dengan tesis Marx, kapitalisme di nusantara bersimbiosis dengan feodalisme. Hubungan yang tercipta pun akhirnya bukan hubungan yang saling berhadap-hadapan sebagaimana dilihat Marx di Eropa, tetapi lebih merupakan hubungan patron-klien. Hubungan seperti ini misalnya, masih bisa ditemui di sentra-sentra industri kerajinan sepatu di Jawa Barat[8].

Kedua, kapitalisme tidak kunjung mencapai puncak krisis sebagaimana diprediksi Marx. Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan hal ini. Mulai dari peran pemerintah dalam mengintervensi tingkat upah buruh dengan penetapan UMR/UMP setiap tahun, mediasi perselisihan melalui berbagai forum –baik yang difasilitasi pemerintah mapun dilakukan sendiri antar buruh dan majikan—, atau sampai pada berbagai konsep welfare stateseperti sharing saham untuk pekerja.

Ketiga, terjadi hegemoni kesadaran sebagaimana disampaikan oleh Antonio Gramschi. Dalam hal ini, kaum buruh di”lena”kan dengan asupan ideologi yang diciptakan oleh negara. Pada masa Orde Baru, hal ini tampak jelas pada pemberlakukan apa yang disebut “Hubungan Industrial Pancasila” dan penanaman nilai bahwa protes dan pemogokan tidak sesuai dengan “jati diri” bangsa. Pada masa reformasi seperti sekarang ini, walaupun protes dan pemogokan sudah diperbolehkan dan bahkan dilindungi oleh Undang-Undang, hegemoni ini masih berlangsung. Kesadaran sistemik terhadap kapitalisme di kalangan buruh pun belum tercipta. Protes dan pemogokan masih terbatas pada hal normatif, seperti perbaikan tingkat upah dan fasilitas kerja.

Berbagai faktor di atas telah membuat kaum buruh di Indonesia tak pernah bisa mencapai kesadaran kelas. Kalaupun ada, kesadaran itu hanya dimiliki oleh segelintir orang (elit buruh atau para aktivis yang beraliran kiri), belum nejadi kesadaran massa seperti yang dicita-citakan Marx. Alhasil, kelas tak kunjung tercipta dan pertarungan kelas tak kunjung terjadi.[9]

LINK BY: KOMPASIANA