Tampilkan postingan dengan label Culture. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Culture. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Januari 2015

LOW-LOW SLOW

Semestinya kita mengangguk saat ditanya...
Tentang musik dan kenangan...
Kenapa???
Sebab kita terlalu takut terlelap...


Hahahaha...
Muak, Muak, Muak...

Dimana saja ada gelap disana pula ada terang dan bias...
Kenapa???
Kita terlalu takut tersesat...


Ayolah mencoba selagi masih dikutuk...
Jangan... Malas bergerak dan sedih....
Ah, kita kaku dalam berteriak dan egois...
Dalam banyak hal... sebenarnya...

Kita telah tua dan cemas...

Okelah... Sudahlah...
Kalau masih ingin bahagia...
Mati saja...
Hahahaha...


Minggu, 06 Oktober 2013

Pertarungan antar kelas sosial




Karl Marx adalah salah satu pemikir ilmu sosial yang paling fenomenal. Karya-karyanya hingga saat ini banyak dikaji dan dipelajari oleh banyak kalangan. Pemikiran Marx diakui telah memberi warna lain bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial. Pemikirannya menimbulkan banyak kontroversi. Dikritik dan dimusuhi oleh banyak kalangan, tetapi tak sedikit pula yang mendukung dan memujinya.

Berbeda dengan pemikir ilmu sosial lain seperti Emille Durkheim atau Max Weber, pemikiran tokoh yang terusir dari tanah kelahirannya sendiri ini mencakup banyak disiplin ilmu. Marx dikenal sebagai ekonom, sosiolog, ilmuwan politik, sejarawan, dan sekaligus filosof. Teori-teorinya dipandang sebagai yang paling komprehensif menjelaskan berbagai aspek individual dan sosial, mencakup aspek kehidupan manusia, ekonomi, agama, politik, filsafat, stratifikasi sosial, untuk menyebut beberapa.[1]

Teori-teori yang dibangun Marx juga tidak sekadar berhenti pada tataran penjelasan atas fenomena semata, tetapi lebih dari itu menjadi inspirasi bagi perubahan di berbagai belahan dunia. Hal ini tentu tak lepas dari kritiknya atas filsafat saat itu yang dipandangnya tidak memberi kontribusi apapun bagi perubahan kehidupan manusia ke arah yang lebih baik. Salah satu pernyataannya yang terkenal, “Para filosof hanya menginterpretasikan dunia secara berbeda, yang perlu ialah mengubahnya!”[2]

Marx memang mengarahkan filsafat dan ilmu pengetahuan untuk menjadi pendorong bagi perubahan. Hal ini beranjak dari keprihatinannya akan ketimpangan yang terjadi dalam sistem kapitalisme yang mengiringi industrialisasi berkembang pesat di Eropa masa itu. Dalam konteks itulah, Marx coba mengetengahkan pemikiran praksis, yang menjelaskan fenomena yang terjadi di masanya itu yang sekaligus juga menjadi “petunjuk” bagi perubahan.



Teori Kelas

Salah satu pemikiran Marx yang memiliki pengaruh sangat luas adalah teori kelas. Dilandasi oleh pemikiran dasarnya “materialisme-dialektika historis”, Marx memandang perjalanan sejarah umat manusia sejak dulu hingga sekarang adalah sejarah perjuangan kelas. Pernyataannya yang terkenal dalam manifesto komunis, “The history of all hitherto existing society is the history of class struggles.”[3] Baik itu pada masa purba, masa feodal, atau masa kapitalis seperti yang sedang menggejala saat itu, Marx selalu melihat terdapat pertarungan antara kelas yang berkuasa dengan kelas yang dikuasai. Dalam masyarakat kapitalis, kelas-kelas tersebut adalah kelas majikan (borjuis) dan kelas buruh (proletar).

Mengapa pertarungan itu bisa terjadi? Marx menyatakan karena ada kontradiksi dalammode of production kapitalisme. Pertama, capitalist mode of production telah menimbulkan perbedaan pemilikan. Kelas majikan memiliki alat-alat produksi (pabrik, mesin, tanah, dsb.). sementara kelas buruh tidak memiliki tempat atau alat produksi apapun. Satu-satunya yang mereka miliki adalah tenaga kerja, yang itu pun terpaksa mereka jual untuk menyambung hidupnya.

Kedua, capitalist mode of production juga menimbulkan alienasi pada kelas buruh terhadap hasil kerjanya[4]. Kaum buruh sama sekali tidak bisa menikmati produk yang dihasilkannya. Mereka hanya berhak menerima upah sebagai nilai tenaga kerja yang sudah mereka keluarkan. Produk tersebut sepenuhnya menjadi milik kelas borjuis, kaum pemilik modal yang menikmati keuntungan dari surplus value dari harga setiap produk yang dijualnya.

Ketiga, akumulasi kapital dan persaingan di antara kelas kapitalis dalam capitalist mode of production ini menyebabkan meningkatnya eksploitasi terhadap kelas buruh.[5]Karena persaingan ini, mereka akan berlomba-lomba untuk menurunkan harga jual produk agar selalu laku dibeli konsumen. Agar tetap bisa meraup keuntungan, cara yang dilakukan oleh kelas pemilik modal adalah dengan terus menurunkan satu-satunya nilai variabel dalam proses produksinya, yaitu upah buruh.

Singkatnya, hubungan antara dua kelas itu pada dasarnya adalah hubungan kekuasaan: yang satu berkuasa atas yang lain. Kekuasaan itu –yang pada hakikatnya berdasarkan kemampuan majikan untuk meniadakan kesempatan buruh untuk bekerja dan memperoleh nafkah—dipakai untuk menindas keinginan kaum buruh untuk menguasai pekerjaan mereka sendiri, untuk tidak dihisap, agar kaum buruh bekerja seluruhnya untuk mereka. Karena itu, kelas pemilik modal pada hakikatnya merupakan kelas penindas.[6]

Kontradiksi-kontradiksi dalam hubungan produksi kapitalis di atas diramalkan Marx akan berlanjut terus menerus. Pertentangan kepentingan antar dua kelas ini akan semakin tajam. Apalagi persaingan antar kapitalis di sisi lain juga mengakibatkan sebagian kaum kapitalis yang tidak mampu bersaing bangkrut, dan jatuh menjadi kelas buruh yang hanya mengandalkan tenaga kerja sebagai satu-satunya alat produksi. Dengan jumlah yang terus membesar, di tengah himpitan yang semakin kuat, akan menumbuhkan kesadaran kelas di antara kaum buruh sebagai kaum tertindas untuk melakukan perjuangan kelas meruntuhkan formasi kelas yang ada untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas.



Adakah Kelas dan Pertarungan Kelas di Indonesia?

Kapitalisme di Indonesia, sebagaimana di negara-negara lain di berbagai belahan dunia, tentu saja sudah berkembang jauh berbeda dengan kapitalisme sebagaimana dilihat oleh Marx di Eropa pada masanya. Walaupun demikian, beberapa ciri pokok seperti diuraikan di atas masih bisa ditemukan di sebagian besar industri di Indonesia. Kaum buruh masih hanya mengandalkan tenaga kerja sebagai satu-satunya force of production yang dimilikinya untuk dijual kepada pemilik modal. di sisi lain, para pemilik modal masih terus menikmati surplus value yang dihasilkan dari setiap produk yang dijualnya.

Akan tetapi, adakah pembagian kelas sebagaimana diuraikan Marx di Indonesia? Satu hal yang perlu digaribawahi, Marx tidak pernah memberi definisi yang jelas atas konsep “kelas” yang panjang lebar diuraikannya.[7] Dalam hal ini, Franz Magnis-Suseno menguraikan ada dua anggapan. Anggapan pertama adalah berdasarkan definisi yang dsampaikan Lenin yang menyatakan “kelas sosial” sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi. Anggapan kedua menyatakan bahwa sebuah kelas baru dianggap kelas dalam arti sebenarnya, apabila dia bukan hanya “secara obyektif” merupakan golongan sosial dengan kepentingan tersendiri, melainkan juga “secara subjektif” menyadari diri sebagai kelas, sebagai golongan khususdalam masyarakat yang mempunyai kepentingan-kepentingan spesifik serta mau memperjuangkannya.

Dalam konteks tesis utama Marx mengenai perubahan kapitalisme menjadi komunisme, tentunya anggapan kedua lah yang harus dipakai. Dengan dasar anggapan ini, harus diakui bahwa kelas belum sepenuhnya tercipta di Indonesia. Kaum buruh belum sepenuhnya memiliki kesadaran subjektif sebagai satu kelas yang sama sekali berbeda kepentingan dengan kaum pemilik modal dan mau memperjuangkan kepentingannya itu. Ketiadaan ciri kelas ini bisa dilihat dari beberapa faktor.

Pertama, kapitalisme sejatinya adalah “barang impor” yang dibawa oleh kolonialis VOC (lalu Belanda) ke bumi nusantara. Dalam menjalankan ekonomi kapitalis, pemerintah kolonial banyak memanfaatkan (dan berarti tetap memelihara) struktur feodal yang ada di kerajaan-kerajaan nusantara. Alhasil, berbeda dengan tesis Marx, kapitalisme di nusantara bersimbiosis dengan feodalisme. Hubungan yang tercipta pun akhirnya bukan hubungan yang saling berhadap-hadapan sebagaimana dilihat Marx di Eropa, tetapi lebih merupakan hubungan patron-klien. Hubungan seperti ini misalnya, masih bisa ditemui di sentra-sentra industri kerajinan sepatu di Jawa Barat[8].

Kedua, kapitalisme tidak kunjung mencapai puncak krisis sebagaimana diprediksi Marx. Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan hal ini. Mulai dari peran pemerintah dalam mengintervensi tingkat upah buruh dengan penetapan UMR/UMP setiap tahun, mediasi perselisihan melalui berbagai forum –baik yang difasilitasi pemerintah mapun dilakukan sendiri antar buruh dan majikan—, atau sampai pada berbagai konsep welfare stateseperti sharing saham untuk pekerja.

Ketiga, terjadi hegemoni kesadaran sebagaimana disampaikan oleh Antonio Gramschi. Dalam hal ini, kaum buruh di”lena”kan dengan asupan ideologi yang diciptakan oleh negara. Pada masa Orde Baru, hal ini tampak jelas pada pemberlakukan apa yang disebut “Hubungan Industrial Pancasila” dan penanaman nilai bahwa protes dan pemogokan tidak sesuai dengan “jati diri” bangsa. Pada masa reformasi seperti sekarang ini, walaupun protes dan pemogokan sudah diperbolehkan dan bahkan dilindungi oleh Undang-Undang, hegemoni ini masih berlangsung. Kesadaran sistemik terhadap kapitalisme di kalangan buruh pun belum tercipta. Protes dan pemogokan masih terbatas pada hal normatif, seperti perbaikan tingkat upah dan fasilitas kerja.

Berbagai faktor di atas telah membuat kaum buruh di Indonesia tak pernah bisa mencapai kesadaran kelas. Kalaupun ada, kesadaran itu hanya dimiliki oleh segelintir orang (elit buruh atau para aktivis yang beraliran kiri), belum nejadi kesadaran massa seperti yang dicita-citakan Marx. Alhasil, kelas tak kunjung tercipta dan pertarungan kelas tak kunjung terjadi.[9]

LINK BY: KOMPASIANA

Rabu, 14 Agustus 2013

Siapa John Lennon?






John mengawali karir bersama The Beatles pada 1960. Bersama grup ini beberapa album yang dirilis di antaranya, Please Please Me (1963), With the Beatles (1963), A Hard Day's Night (1964), Beatles for Sale (1964), Help! (1965), Rubber Soul (1965), Revolver (1966), Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band (1967), The Beatles (1968), Yellow Submarine (1969), Abbey Road (1969) dan Let It Be (1970).

Selama 1970 sampai 1975, John menjalani karir solo, dengan album-album yang dirilis di antaranya, John Lennon/ Plastic Ono Band (1970), Imagine (1971), Some Time in New York City (with Yoko Ono 1972), Mind Games (1973), Walls and Bridges (1974), Rock 'n' Roll (1975), Double Fantasy (with Yoko Ono 1980), Milk and Honey (with Yoko
Ono 1984), dan lain-lain.
Setelah bubarnya The Beatles pada tahun 1970, ia juga sukses dengan karir solonya. Salah satu hitsnya yang hingga kini masih sangat terkenal adalah Imagine, lagu yang kemudian menjadi salh satu himne perdamaian dunia.
Lennon juga menunjukkan sifatnya yang pemberontak dan selera humornya yang sinis dalam film-film seperti A Hard Day's Night (1964), dalam buku yang ditulisnya seperti In His Own Write, konferensi pers dan wawancara. Ia menggunakan kepopulerannya untuk kegiatannya sebagai aktivis perdamaian, seniman dan penulis.
Lennon dua kali menikah, yaitu dengan Cynthia Powell di tahun 1962 dan seniman Jepang, Yoko Ono di tahun 1969. Ia memiliki dua orang anak, Julian Lennon (lahir tahun 1963) dan Sean Taro Ono Lennon (lahir tahun 1975). Ia meninggal di New York pada usia 40 tahun, ditembak oleh Mark Chapman, penggemarnya yang gila.
John Lennon, adalah salah satu penyanyi dan juga aktor legendaris dunia. Terkenal sebagai anggota dan pendiri grup musik The Beatles, bersama Paul McCartney, George Harrison dan Ringo Starr.
Referensi :
- http://selebriti.kapanlagi.com/john_lennon/
- http://beymine.blogspot.com/2009/05/biografi-john-lennon.html




Kamis, 14 Maret 2013

Lebih Kupilih Menghindar



Menangkap cahaya dimalam hari.
Cahaya kemilau dan juga embun.
Lingkaran kebersamaan telah dibumbuhi wajah palsu.
Mengizinkan kami untuk tersungkur dihari mendatang.

   Tunas mulai tumbuh di pesisir sungai.

   Terluapkan amarah dalam bentuk cerita.
   Terciptalah sebanyak mungkin korban.
   Tragedi tak lagi terelakkan.

Konflik kadang menciptakan kebersamaan yang lebih menarik.
Tapi kali ini amarah yang sebagai pembeda.
Karena tanpa ada harapan.
Karena aku tak lagi nyaman diatas pantai yang kau tawarkan.

   Sulit untuk tersenyum di hari ini.
   Sebab hati tak lagi menerima.
   Lebih baik aku menghindari.
   Daripada aku harus memperbaiki musuh.
  

Minggu, 06 Januari 2013

HITUNGAN HARI MENELUSURI KULTUR KAMPUS


DAY BY DAY


Beberapa medan tempur telah kulewati, telah menunggu gunung untuk kudaki, kerikil bebatuan memperlihatkan dirinya yang begitu keras, tetapi mentari bersinar agar semangat tetap terjaga. Kutenangkan diriku sejenak dengan secangkir kopi beraromakan kehangatan disetiap relung kehidupan yang teramat kelam di masa lalu.
Pagi itu ternyata pertanda bahwa telah ada kehidupan yang menantiku diluar sana, kehidupan yang jauh lebih menarik dan lebih asyk untuk kujalani ketimbang apa yang telah kulalui. Dengan sedikit lirik lagu perpaduan rock berceritakan cinta, sebatang rokok pun keluar dari tempatnya dan mulai kubakar dengan sebiji korek kayu, mengeluarkan asap yang berbentuk bundar, pertanda semangat yang mulai hadir kembali di jiwa yang penuh ketidakstabilan ini.
Dengan memakai baju batik bergaris, berwarna coklat perpaduan biru, kulangkahkan kaki menuju teras kos dimana sepatu all star hitam telah siap untuk dipakai kemudian melanjutkan aktivifitas rutin saya yaitu kuliah di kampus yang saya banggakan yaitu Universitas Negeri Makassar. Tepatnya di Fakultas Bahasa dan Sastra, saya belajar di sebuah Instansi pendidikan dengan mengambil jurusan Bahasa Inggris, Prody Business English (D3).
Sebelumnya itu, saya dan keluarga dengan susah payah agar bisa masuk dan belajar di Kampus ini, mulai dari perjalanan saya yang tidak begitu dekat jaraknya, Antara Jeneponto dan Makassar adalah jarak maksimal yang telah kutempuh untuk kemudian bisa kunikmati suasana belajar berstatuskan diri sebagai mahasiswa.
Di sebuah hari saya dikejutkan dengan sebuah kabar bahwa di gelombang pertama, nama saya tidak tercantum dalam daftar nama-nama calon mahasiswa baru yang dinyatakan lulus dalam tes. Cician dan bahasa penyemangat pun berdatangan, saya dikatakan kurang serius dalam tes, dan juga dikatakan tingkah laku saya tidak menunjukkan rasa yang memang benar-benar serius ingin lulus, kurang dekat dengan sang pencipta, dan juga selalu sial, semua kata ini hadir dari bibir orang tua saya, dari pribadi sendiri saya sangat kecewa saat itu sampai-sampai telat tidur. Untunglah saya memiliki seorang kaka yang selalu member saya motivasi akan setiap kegagalan yang saya dapat. “Sabar saja dek, masih ada gelombang berikut yang akan kau jalani, jadi janganlah terlalu berlarut dalam kegagalanmu ini, semua belum berakhir dan aka nada masa lagi setelah ini, ok?” sahut kakak saya, “thanks kak, saya akan bersungguh-sung dan giat lagi dalam berusaha”, jawab saya dengan nada rendah.
Setelah kegagalan itu, atas saran dari orang tua saya diberi opsi agar memilih jurusan bahasa inggris, dengan alasan bahwa jika saya mengambil jurusan bahasa inggris saya akan lebih mudah dalam mencari pekerjaan karena sekarang banyak instansi sekolah yang membutuhkan tenaga pengajar di jurusan itu, kedua jurusan ini tidak terlalu banyak diminati oleh para mahasiswa dan mahasiswi yang ingin mendaftarkan dirinya seperti saya.  Mendengar opsi itu, saya agak tertunduk tak tahu mesti bilang apa, karena jika berbicara mengenai minat dan bakat, saya tidak terlalu menginginkan itu, sedih bercampur senang. Senang karena dapat diterima murni di kampus yang memang sudah menjadi cita-cita saya sewaktu masih duduk dibangku Sekaloah Menengah Atas, dan sekarang saya telah mampu merealisasikan semuanya, kata Alhamdulillah pun hadir sebagai makna rasa syukur yang mendalam. Atas dukungan orang tua saya tak lupa berucap terima kasih atas usahanya mewujudkan cita-cita saya itu, dan dengan itu saya pun bersedia mengambil opsi yang ditawarkan Bapak saya itu, saya pun mengambil jurusan Bahasa Inggris tepatnya di Prody Business English.
Hari pertama masuk kampus, saya langsung melihat suasana yang begitu berbeda dengan sebelumnya, saya melihat banyak mahasiswa yang berambut panjang atau biasa orang sebut “GONDRONG”, heran dan takut adalah kesan pertama, bertanya dalam hati “ Apakah seperti ini mahasiswa?, tidak memiliki aturan seperti dikalah SMA, Berambut panjang, memakai sandal, memakai celana robek di bagian lutut, memakai baju kaos tak seragam, merokok di tempat umum layaknya para masyarakat di luar sana, dan hampir mirip para preman di pelosok pasar. Untunglah saat itu ospek telah ditiadakan, jadi kami para mahasiswa baru agak sedikit tenang dengan para senior yang galak dan keras dalam mengkader junior mereka dalam tanda kutip kami para mahasiswa baru. Yang kata para senior pendahulu bahwa dalam ospek kita biasa di didik dengan keras seperti: di injak, di pukuli, di kerjain, disuruh jongkok dan segala jenis hukuman yang bersifat fisik dan tidak asyk deh pokoknya.
Setiba di pelataran depan kelas bertingkat tiga yang di beri nama DH sebagai kelas dari jurusan bahasa Inggris di Fakultas ini, kami para mahasiswa baru disambut dengan ucapan selamat datang dari berbagai dosen yang siap mengajar kami nanti ketika proses belajar mengajar telah berlangsung. Berbaris membentuk shaf berjejer dengan teratur kebelakan. Malu, agak asing dengan suasana kampus, ditambah dengan jumlah kami yang lumayan banyak, serta melihat cara berpakaian cewe dan cowo membuat lengkap suasana asing yang saya rasakan. Selembar kertas mulai dibagikan ke semua mahasiswa, yang di beri nama KRS, yah belum tahu saya apa arti dari kertas itu dan apa gunanya kami dibagikan. Polos dan lugu benar tingkah saya dan teman. Tiba-tiba di sebelah kiri saya bertanya dan menyahut saya, “kawan nama kamu siapa?”, “kenalkan saya chris kawan,” jawab saya. “Oh iya saya irvan, oia asal kamu dari mana?” lanjut dia, “ saya dari Gowa kawan, kalau kamu?”, jawab saya. “kalau saya asli Makassar kawan, senang kenalan dengan kamu”. Di akhiri dengan senyum, dialah teman pertamaku di kampus ini.
Hari berganti hari lebih singkatnya jam berganti jam, saya mencoba berbaur dan mempelajari segala budaya, suasana dalam kampus yang saya temapati saat itu, mulai dari sistem senior dan  junior yang tak ada saat saya berada di SMP dan SMA. Sehingga dihari dan ditempat itu saya menemukan berbagai kasus, mulai dari pemukulan yang kerap terjadi yang para senior namakan “ROPOLO”, aturannya: ketika senior berkata A, maka junior harus mengakui dan mengikutinya, kalau tidak maka akan ada konsekwensi dan masalah yang muncul, tak peduli salah atau benar karena kultur ini telah turun temurun berjalan dan sudah berakar. Jadi dari kejadian itu saya mendengar sebuah pernyataan bahwa “ ketika senior berkata A, maka junior harus ikut, dalam ada pasal yang mengatakan bahwa senior selalu benar, dan para junior harus patuh dan tunduk atas aturan yang telah ada itu.” Kami tidak dapat melawan sebab kami takut akan mereka-mereka yang berambut gondrong dan lebih paham akan kultur kampus, juga dibantu dengan para senior terdahulu yang mengaminkan aturan itu.
Di hari berikut, saya berjalan kearah bawah menuju parkiran bersiap untuk pulang, saya ditahan karena rambut saya tidak BOTAK, “woy, rambutmu kenapa panjang?”, “iya maaf kak, nanti saya potong besok,” jawab saya, “ oke, awas nanti saya lihat terus masih panjang seperti itu”, sahutnya lagi. “baik kak, maaf sebelumnya.” Dalam hati, weh bahaya ternyata, senior-senior disini galak. Hehehe. Sampai disitu, belum usai, di parkiran saya di dapat lagi oleh senior yang lebih tua, “dek, rambutmu kenapa panjang, saya punya ketter disini, mau saya ketter rambutmu?” sahut sebior itu yang tidak saya tahu namanya. Saya pun langsung kaget dan takut lalu spontan menjawab . “maaf kak, saya akan potong besok”, “ awas saya lihat besok tidak berubah”, sahut dia, “oke kak, janji”, “ oke jalan mako,”. “Iya kak makasih”, jawab saya dengan ekspresi rasa takut yang mendalam, hehehe.
Sampai di rumah, saya selalu mengingat peristiwa di kampus tadi, kenpa seperti itu dan apa kepentingan yang di cari oleh para senior yang memperlakukan adik-adiknya seperti itu?. Sepertinya ada yang tidak beres dengan semuanya, dan akhirnya sambil memikirkan itu mata saya pun tertutup.
Besoknya saya berjalan lagi dengan sedikit hati-hati, di tangga lantai 2 saya bertemu senior yang menyuruh saya mencukur rambut, dia satu level diatas saya yaitu angkatan 2010. Saat itu matanya melotot melihat kearah saya, pembicaraan pun terhenti karena kakak senior yang melotot learah saya, sehingga saya pun sadar bahwa pasti dia sedang memperhatikan rambut saya. Pantas memang dia seperti itu karena diantara teman-teman saya yang lain hanya saya yang agak panjang rambutnya sedikit, dan juga peringatannya yang tidak saya lakukan, saya belum potong rambut. Setiba di depannya matanya terus melotot kearah saya, sampai saya pun lewat di depannya dengan keadaan menunduk dan sempat saya berfikir saya akan lolos karena saya sudah lewat didepannya dan tidak kunjung di panggil-panggil. Pas ditengah perjalanan dia langsung berlari kearah saya dan hendak mengayungkan tangannya kea rah badan saya, dan senior yang lain pun melerai kejadian itu dan menurungkan emosi senior yang hendak memukuli saya itu,dan segera menenkan suasana “ tenang kawan, dek pergimiki janganki dengarki ini.” Sahut senior yang lain kepada saya.” Dengan perasaan kaget saya pun melanjutkan perjalanan dan segera memasuki ruangan kelasku. Geleng kepala, apa maksud dari semua ini? Jawab saya dalam hati.
Di hari selanjutnya saya telah cukur rambut untuk kedua kalinya, tapi saya masih mendapat teguran keras dan ancaman dari senior yang lain, karena masih panjang katanya. Saya kemudian cukur lagi yang ketiga kalinya dan sampai akhirnya saya botak. Saya sangat benci dengan model rambut seperti itu karena maklum bentuk kepala saya tidak terlalu keren untuk dipandang oleh teman-teman seangkatan, khususnya teman kelas. Tapi alasan itu tidak membuat saya kuat untuk tidak mencukur rambut hingga botak. Ya ampun kenapa seperti ini system yang dipertahankan dalam sebuah instansi pendidikan, sementara ketika kita berbicara status, kita sama-sama mahasiswa yang memiliki tujuan yang sama yaitu mendapatkan dan mengenyam pendidikan yang layak dan maksimal oleh para tenaga pengajar yang ada di dalam kampus ini. dan anehnya lagi perlakuan seperti ini hampir setiap harinya. Yah tapi kita juga harus menerima budaya yang telah ada sejak beberapa tahun yang lalu.
Sampai di kemudian hari kultur baru pun saya temui, yaitu para senior sering memajaki kami, memintai kami uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan seperti kultur yang lain, ini terjadi setiap kali kami bertemu senior. Menyurh kami membeli kopi dengan uang kami, menyuruh kami membeli rokok dll yang menjadi kebutuhan mereka. Kami sama sekali tidak dihargai dan tidak di lihat dalam kampus tersebut, diperlakukan seperti layaknya para budak yang sama sekali tidak berguna dan hanya pantas untuk di suruh-suruh.
Dan selama satu tahun kami diperlakukan seperti itu, sampai akhirnya semester baru pun tiba dan kami pun memiliki adik, saya beri nama adik karena kami bukan senior yang seperti mereka lakukan kepada kami di semester yang lalu. Kesadaran kami telah muncul karena pengalaman telah mengajari kami bahwa kultur seperti itu tidak bagus adanya, dan tidak layak untuk diterapkan, maksudku ketika saya tidak suka diperlakukan seperti senior memperlakukanku dulu, artinya adik-adik saya pun tidak suka itu dan mungkin saya tidak akan melakukan hal yang sama kepada adik saya nanti. Lantas apa bedanya saya dengan senior yang saya anggap tidak benar. Saya hanya berharap bahwa kejadian ini hanya saya yang meresakannya, tidak untuk balas dendam untuk adik saya.
Kapan habisnya kultur bobrok ini, ketika saya melanjutkannya ke adik-adik saya? Jadi mungkin pengalaman saya di perlakukan seperti itu bisa menumbuhkan rasa prihatin yang akhirnya saya dan teman seangkatan saya bisa memutus kultur itu.
Mungkin seperti itu setahun cerita saya di kampus. Sampai jumpa di cerita berikutnya kawan. Hidup mahasiswa dan hidup rakyat.

Minggu, 23 Desember 2012

KEPALAN TANGAN PARA SENIOR

                                       
                                                     KEPALAN TANGAN PARA SENIOR
                                                         Cerpen budaya kampus kami
Kata utama kami mungkin adalah takut dan tak bisa berbicara menghadapi penguasa-penguasa kecil yang nantinya akan jadi patokan perilaku dari kami-kami para pendatang baru di kampus tersebut. Sebuah ketentuan telah mengungkung dan mempersempit langkah kami untuk melihat mentari dengan lepas. Ribuan kilo meter kami saat ini, dibanding mereka yang sudah dekat dengan sebuah tujuan. Dia adalah mereka yang sudah terlebih dahulu tiba dari tempat kami sekarang, yaitu di sebuah instansi pendidikan yang dinamakan Universitas atau kampus yang dimana mahasiswa bertempat, dua kata yang begitu sakral, dan tanggung jawab yang harus di emban bagi kami untuk mengabdikan diri kepada masyarakat di lingkungan kami. Yaitu Maha dan siswa, dimana maha diartikan sebagai Basar, dan siswa sendiri berarti orang yang sedang belajar dalam sebuah sekolah, jadi bila disatukan artinya mereka yang berada dalam sebuah sekolah yang dikatakan besar (orang yang sedikit tahu dibanding para siswa atau siswi yang berada di SD, SMP dan SMA).
Jenjang ini merupakan tahapan atau bagian dari sebuah wujud pendidikan yang telah diatur sedemikian rupa oleh para penguasa di Negeri ini. Di sebuah kampus, kita harus mematuhi segala aturan yang ada, dan Birokrasi kampus adalah tokoh utama dalam pembuatan aturan itu sendiri, namun yang perlu kita ketahui bahwa dalam sebuah kampus pasti memiliki ciri atau kebiasaan yang sudah melakat dan susah untuk kita rubah dan hindari. Sebagai contoh dimana sebelum kita mulai belajar atau mengikuti semester yang berjalan secara aktif, kita harus mengikuti Ospek atau pelana yang lebih spesifiknya yaitu pengenalan akan budaya kampus yang akan kita tempati menuntut ilmu yang sudah disepakati oleh para birokrasi kampus dan mahasiswa yang akan mengambil bagian sebagai pengurus dari ospek tersebut, Nah yang perlu kita ketahui juga bahwa dalam ospek itu sendiri sependek pengetahuan saya, dimana kita wajib memetuhi aturan-aturan yang telah dibuat oleh para pendahulu kita atau singkatnya senior kita, yang sudah menjadi perintah dari atasan mereka yaitu birokrasi kampus. Contoh kecil dari aturan yang disediakan yaitu: Pertama, kita harus memakai baju yang unik dan seragam yang sama dengan mahasiswa yang lain, memakai kos yang berbeda warna, memotong rambut sampai plontos, menggunakan papan nama yang dibuat dari dos, pita-pita sebagai kalung agar lebih bobrok dilihat, dan yang tak perlu kita lupakan yaitu di dalamnya kerap terjadi kekerasan atau kontak fisik yang dilakukan oleh para senior untuk mereka para junior yang katanya melawan atau tidak taat aturan. Jadi kemudian timbul sebuah pertanyaan bagi kami yang pernah mengalami itu, apakah semuanya akan membawa dampak yang lebih positif bagi orang yang diospek itu? Tidakkah mereka yang pernah mengalami itu akan menerapkannnya lagi dan lagi bagi junior mereka nantinya, pastilah seperti itu jika tidak muncul sebuah kesadaran bagi mereka yang pernah merasa tertindas. Jadi apakah kampus itu mendidik kita agar dapat berbalas dendam dan menindas orang lain? Pukul dan pukul lagi, hal inilah yang sudah menjadi kebiasaan buruk bagi budaya yang sedang kami jalani, ketika kita tidak menurut atau tidak bergaul dengan para senior pendahulu kita, jadi artinya mereka punya hak untuk memukul kita? Berbicara logis tentunya tidak logis sekali kawan, inikah calon yang dikatakan kaum penerus bangsa yang akan berbakti kepada negara? Inikah calon para intelektual yang dikatakan besar? Inikah mereka yang dibanggakan masyarakat? Bukan.
Lanjut mungkin saya akan arahkan menuju bagaimana otoriter senior dalam kampus, ketika kita dilihat berjalan dalam keadaan membungkuk lantas tak singgah itu katanya kurang ajar, dan harus dipukuli oleh senior? Atau paling tidak kita disuruh untuk membeli kopi atau rokok untuk mereka, teruslah seperti itu agar kami paham akan bagaimana komersialisasi pendidikan dan budaya negatif yang sudah berakar dewasa ini, di kampus kami.
Lanjut dari itu, pada sebuah hari, kemudian saya dan teman-teman seangkatan saya berinisiatif untuk membuat sebuah terobosan agar kesemuanya ini dapat kita hialangkan atau setidaknya dimengerti bahwa ini adalah budaya yang tak sehat dan tak pantas ada dan harus dihilangkan. Saya dan teman saya Akbardari jurusan Bahasa Indonesia, juga Adhy, dan saya dari Bahasa Inggris, iseng-iseng membentuk sebuah gerakan yang saya beri nama GAS atau Gerakan Anti Senioritas, kenapa kami kemudian berinisiatif atas ini, itu karena kegerangan dari kawan-kawan seangkatan saya atas apa yang terjadi dikampus. Kalau Gerakan ini sendiri mengatakan bahwa kami tidak punya senior melainkan Kakak, karena semua ini adalah dua hal yang sangat beda, dimana kalau senior mereka seperti seorang polisi yang katanya mengayomi dan melindungi juniornya, tapi dalam realitanya mereka hanya mengungkung kita dan mempersempit gerakan kita untuk maju, juga mereka hanya bisa memajaki kami para junior bahkan tidak segang untuk memukuli kami yang tak taat terhadap aturan yang jelas-jelas salah. Sementara jika kakak itu artinya mereka seperti seorang saudara yang lebih tua dan mengajari kita agar tidak jatuh kepada sebuah lubang, melindungi kita serta menjaga kita sebagai adiknya. Seperti itu mungkin gambaran dari gerakan kami ini.
Dalam sebuah proses kami untuk mensosialisasikan gerakan ini, kami sempat teledor dan menuai banyak perlawanan dari para senior-senior kampus yang tak setuju dengan garakan ini, meraka kemudian mendatangi saudara seangkatan saya di sebuah sekret organisasi saya yaitu eLTIM atau Lintas Transformasi Intelektual Mahasiswa, Mereka adalah salah satu senior yang ada di Bahasa Indonesia, mereka datang dengan gerombolan motor yang tidak sedikit dan saat itu saya sedang tidak berada ditempat, dan salah satu teman saya yaitu Adhy berada sendiri di tempat yang didatangi oleh senior-senior tersebut. Yah tiada lain pasti dia mempersoalkan masalah Gerakan kami ini, mereka mengatakan bahwa gerakan ini adalah gerakan yang tidak baiklah, tidak cocok dan salah. Tak lama setelah mereka datang Adhy teman saya Mengirimi saya pesan singkat, we dimanako? Ada datangika senior kesiniko dulu tapi jangan tanya kak Afdal(ketua dari organisasi eLTIM) yang merupakan salah satu senior yang kami segani dan sudah seperti kakak kami sendiri karena tidak seperti senior pada umumnya, tak lupa juga dia mengirim pesan ke Akbar untuk datang ketempat, jadi sayapun beralasan dengan kak Afdal akan keluar mengambil kabel data yang ketinggalan di Sekret, tanpa mengatakan yang sebenarnya sesuai dengan apa yang menjadi isi pesan singkat teman saya, sayapun dengan tergesa-gesa datang langsung ketempat, dan seampainya saya melihat banyak kendaraan dan saya masuk mendengar cerita mereka para senior, terdengar suara dari salah satu senior “weh kau itu orang Bone dek, kenapa na begitu caramu? Salah besarko,” Adhy menyahut “ kak justru karena orang Boneka itumi na beginika, tidak mauka liatki teman-temanku jadi korban dari sistem yang kakak terapkan,” lanjut senior “ dek, salah caramu,” adhy lalu bertanya “Kalau salahka paeng kak rasionalkanki dari mana letak kesalahanku supaya bisaka perbaiki kalau memang salahka”, senior itupun lalu menggaruk kepala terlihat kewalahan untuk berbicara lagi. Namun dibalik ini pun mereka sudah memiliki dendam lama yang masih terasa, kejadian itu terjadi beberapa bulan lalu di Bulukumba, dalam rangka kegiatan rutin HIMAPRODI bahasa dan sastra indonesia, disana mereka di pukuli oleh para senior tampa kejelasan yang logis, mereka dipukuli satu persatu diantaranya yaitu Adhy dan teman saya juga Akbar, dan sebelum itu mereka telah sepakat bahwa tidak akan ada pemukulan yang akan terjadi disana, toh nyatanya itu semua bohong dan disanalah dimulai masalah, sebagian angkatan 2011 mengundurkan diri di HIMAPRODI bahasa dan sastra Indonesia yang masih menjadi bekas sampai sekarang.

Lanjut, kemudian senior lain pun berbicara “ Kalau memang kau masih dendam kepada kejadian dulu itu yah pukuli saja juga kami”, dalam benakku “ siapa yang akan berani memukuli kakak, walaupun kami dendam?, lalu Ahdy lalu menjawab “ kalau dendam munafikka kak kalau tidak ada, analoginya , ketika paku saja dicabut dari sebuah tembok itu akan membekas dan begitupun saya, dan ketika kakak menyuruh saya untuk memukuli kakak lantas apa bedanya saya dengan kakak.? Senior-seniorpun pusing sambil menggelangkan kepala pertanda kewalahan untuk berbicara, suasan pun berubah menjadi semakin rumit dan saya pun dalam posisi standby jika terjadi sesuatu, oia saat itu pula saya ditanya, “ apa kau cari disini? Angkatan berapako? Saya menjawab “ saya kesini ambil cas dan ini sekret saya, saya angkatan 2011 kak, seangkatan dengan Adhy”. Dia melanjutkan “oh kukira Adhy yang suruhko kesini”. Dan selasainya masalah kemudian senior mengatakan sesuatu kepada Adhy “ dek janganko terlalu gegabah sekali nah, kalau saya tidak apa-apaji tapi kalau senior yang lain tidak bisaka jaminko dan tdak bisaka juga bantuko pastinya”, benakku “cuci tanganki lagi seniorka”. Dan setelah itu mereka pun pergi.
Di suatu hari terjadi kemudian kasus serupa dan lagi-lagi yang menjadi korban adalah angkatan saya, yang lebih ngerinya lagi mereka adalah sahabat saya yang saya kenal dia itu baik dan ramah. Yang menjadi pertanyaanku, kenapa selalu angkatan saya, saya takutnya para senior itu mengatakan jika kamu ingin memukul datang saja ke 2011 karena menganggap angkatan kami itu tidak sesolid angkatan mereka, dan yang lebih pedihnya lagi, kami sudah memiliki adik 2012 tapi toh tidak ada yang berubah, mereka selalu beralasan bahwa kami tidak mau bergabung dengan senior dan cuek nakal dengan teman kelas. Pusing dan gerang melihat tingkah semena-mena para senior, kami pun membuat kesepakatan bahwa ketika kami di perlakukan seperti itu lagi itu akan menjadi bumerang bagi mereka dan kami sepakat untuk bersatu ketika ada salah satu diantara kami yang dipukuli lagi.

inilah mungkin sedikit gambaran bagaiamana kultur negatif yang sudah berakar di kampus kami, selain masalah birokrasi yang rumit kami dihadapkan lagi dengan masalah yang lebih rumit untuk diselesaikan, dan mungkin inilah tantangan sekaligus ujian dan bagaiamana agar kampus bisa kita normalkan dan berjanji agar angkatan kami 2011 akan bersatu kembali serta akan menjauhkan diri dari yang namanya penindasan untuk kaum intelektual. Hidup mahasiswa hidup rakyat.

Jumat, 07 Desember 2012

DUNIA PENDIDIKAN BAGI SAYA


DUNIA PENDIDIKAN BAGI SAYA
                Dari hadirnya sang pejuang yang ingin merevolusi setiap sendi dalam kehidupan yang sekiranya tak lagi seperti matahari di pagi hari. Dimana semua makhluk yang berkecimpung di dalam tempat yang di beri nama dunia sebelum akhirat. Teman adalah sebuah wadah dan juga bukti bahwa kita dalam lingkup sosial, yang memang sepatutnya kita dan semua yang berkecimpung di area ini patut untuk berbagi satu sama lain.
Kepekaan di dunia ini semakin menjadi setelah perkenalan dengan sebuah dunia sekolah yang menghadirkan sebuah sensasi berbeda disetiap langkah yang berada di dalamnya. Berumur 6 tahun saya telah diperkenalkan dengan dunia Sekolah Dasar. Enam tahun saya menjalaninya dengan berbagai pertanyaan yang mengiringinya, mengapa ibu saya menyekolahkan saya? Dengan wajah dan tingkah yang masih polos kami tetap melanjutkan dan menyamankan setiap tindakan kami ketika berada di instansi tersebut. Mengapa tidak, karena di dalamnya saya diperkenalkan dengan dunia yang baru seperti bertemu dengan banyak teman sekampung dari berbagai pelosok daerah saya. Warna itu semakin menarik ketika dipadukan dengan suasana bermain yang begitu hangat, begitu menggembirakan. Tapi dibalik itu semuanya serasa belum pantas kami lakukan karena saya merasa dunia itu pantasnya saya gunakan untuk berkumpul dan bermain bersama teman guna mencari apa dan bagaimana kami sebenarnya? Mencari jati diri dan membentuk karakter lewat bermain. Tumpang tindih selama enam tahun saya menjalaninya. Mulai dari aturan yang saya benci, seperti memeriksa kuku sebelum masuk kelas, bangun pagi dan memakai seragam putih merah serta tuntutan orang tua untuk saya agar mendapatkan nilai yang bagus dan harus bersaing, dan sudah barang tentu ketika persaingan terjadi akan ada salah satu diantara kami yang tersingkir, Yah tersingkir dalam artian mereka yang berada dalam institusi tersebut lantas tidak memiliki kemampuan di jurusannya harus dikucilkan. Artinya pendidikan mengajarkan kita untuk mengucilkan orang yang berpotensi untuk bidang tertentu. Sementara pendidikan itu sendiri belum mampu menghadirkan semua jurusan yang bisa untuk dikerjakan, agar tak ada lagi yang selalu dekat dengan sindiran dikatakan bodoh. Lalu berlanjut untuk budaya setiap hari senin dimana kita harus berdiri di dalam sebuah lapangan daerah sekolah untuk katanya pengabdian kepada bangsa dan negara, yah salah satunya yaitu hormat kepada bendera, mengapa bendera harus kita hormati gitu? Bendera adalah benda mati yang harusnya dijaga bukan disembah, Dijaga dan disembah itu berbeda. Sama dengan disembah jika kita harus melakukannya setiap pekan.
                Jika kembali ke Akar sejarah sebuah negara, menurut saya negara hadir karena dosa di masa lampau. Diceritakan bahwa sebelum adanya negara ada sebuah sistem kerajaan saat itu, dimana kekuasaan selalu menjadi alat untuk bertindak sewenang-wenang kepada kaum yang berada di bawah. Dan sebelum ada yang dinamakan kerajaan, disana semua manusia berada dalam kedudukan yang sama, mereka sama-sama berburu dan meramu. Berpindah-pindah tempat kesana kemari karena belum ada yang dinamakan saling mengklaim tanah, sebelum kerajaan datang menjadikan tanah milik semua manusia di petakan. Lalu hadirlah sang Raja yang menjadi pimpinan terbesar dalam sebuah Kerajaan untuk mereka jadikan landasan untuk mengklaim bahwa ini adalah tanah milik mereka. Setelah larut, ada kemudian orang yang membentuk sebuah negara yang memiliki kekuasaan penuh dan hak kepemilikan yang luas. Negara memiliki hampir 50% tanah khususnya di Negara kita sendiri di Indonesia, Apakah negara masih saja dikatakan layak untuk di agung-agungkan untuk kita jadikan sebagai alat agar kita dapat bekerja keras untuknya. Sangat tidak logis, Negara adalah salah satu bentuk kekuatan yang sangat besar yang berpotensi untuk mengatur semua kehidupan manusia.
                Lalu saya lanjut ke SMP dan SMA, di kedua instansi ini pun tidak jauh berbeda dan hampir sama, dimana rutinitas di waktu SD hampir sama dengan yang ada di SMP dan SMA. Yang berbeda dimana dalam fase ini saya menemukan sedikit ketidak biasaan saya sewaktu di SD, dimana saya mulai tertarik terhadap lawan jenis saya. Yah mungkin ini adalah tahap dimana saya sudah mampu tertarik kepada kaum hawa, entah dari mana asal dari semuanya, yang jelas ini adalah sebuah anugerah dan awal dari bagaimana saya bisa belajar dalam mencari pasangan untuk kutemani suatu saat nanti. Lanjut lagi, di SMA saya sering bolos karena alasan saya sangat tidak suka untuk belajar, tak tahu kenapa bisa, tapi yang jelas saya tidak begitu nyaman dengan sistem pembelajaran yang di berikan sekolah. Jadi masalah mulai muncul selain faktor lain seperti kenakanlan dan pengaruh lingkungan sudah menjalar, wanita pun sudah menjadi jembatan pelengkap keduanya tadi. Yah dalam satu minggu, terhitung hanya 1-2 hari saya memasuki ruangan kelas untuk belajar, yah alhasil nilai saya jelek. Banyak mengulang yang nantinya akan memperlambat saya di akhir semester. Mau diapa, semuanya sudah terlanjur saya lakukan, jadi apapun daya saya itu sudah terlanjur.
Lalu kemudian di sebuah hari, ayah dan ibu serta kakak saya datang ke sekolah karena selembar kertas yang ditulis oleh pihak sekolah yang menyarankan orang tua dari saya agar ke sekolah berkonsultasi dengan guru BP. Kemudian, caci maki pun berdatangan, mulai dari ayah saya yang mengatakan saya anak tidak tahu diri, anak malas dan bodoh. Lalu ibu saya pun lalu berkata “anak suka berbohong kepada orang tua”. Kakak saya melanjutkan cacian itu “Kau kenapa memang bisa begini? Bodohmu itu.” Pusing dan panik mewarnai perasaan, lalu di suruhlah saya oleh kakak agar masuk kelas belajar dan tidak seperti itu lagi. Dan kemudian syarat telah saya sampaikan ke ibu agar saya bisa di belikan motor kawasaki.
Keesokon hari saya bergegas ke warung di dalam area sekolah, belum sampai guru BP memanggil “Chris sini dulu kamu”, “Iya pak” sahut saya. Lalu kaki ini pun menuju ke arah sumber suara dimana guru BP sudah menanti. “Nak kamu jangan malas-malas lagi yah” kata Guru BP , “iya pak insyaallah”. “oia katanya kamu malas karena kamu tidak dibeliin motor yang kamu suka yah?” hehehe, iya pak karena saya butuh kendaraan agar bisa rajin untuk ke sekolah”. “iya, katanya orang tua kamu : kamu akan dibelikan motor yang kamu suka, tapi kamu harus janji takkan bolos, kamu harus rajin, jika kamu bolos lagi maka motor yang akan diberikan ke padamu itu akan dijual kembali.” Ohhh, serius itu pak,?” Sahut saya dengan heran. “iya nak, kamu yang rajin yah OK? ‘iya pak, iya” sahut saya dengan muka yang begitu senang.
iya begitulah sedikit percakapan saya dalam sebuah instansi yang mnghalalkan segala cara agar apa yang tidak saya sukai itu bisa saya laksanakan, dengan menggunakan kekuasaannya mereka mampu mendapatkan yang diinginkan.
Lalu motor kawasaki pun di keluarkan orang tua saya agar saya bisa rajin dalam bersekolah, sesaat setelah itu raut muka pun begitu berseri dan bahagia karena adanya barang yang saya inginkan. Kesekolah saya dengan motor keren membuatnya menjadi pusat perhatian banyak orang, mengapa tidak di sekolah saya belum ada yang memakai motor seperti itu. Karena itu saya kemudian mengalihkan sedikit perhatian agar bagaimana saya bisa di perhitungkan di sekolah saya oleh teman-teman. Jadinya saya sedikit melupakan tujuan utama saya di sekolah, dan janji saya kepada guru dan orang tua saya.
Manejemen hidup mulai tak tertata, orang tua pun tak memberi semangat melainkan memarahi saya. Dan itu membuat saya semakin prustasi dan hilang arah, dan itu pastinya menjadi bumeran untukku sendiri agar aku melakukan sesuatu seperti mabuk-mabukan, Merokok tanpa setahu mereka, keluyuran mencari cewe di daerah lain. Yah itulah mungkin hasil dari didikan orang tua saya.
                Di Perguruan Tinggi, Pendidikan saya tinjau dari segi sendi kehidupan, dimana budaya di sebuah kampus sangatlah berbeda seketika kita berada di SD, SMP, SMA. Dimana dalam kampus itu sendiri di pelajari sebuah budaya secara menyeluruh dan menjaganya melalui beberapa organisasi dalam kampus dan sekreatif mungkin dijadikan sebagai budaya yang disulap menjadi sebuah pementasan seni yang sangat amat keren. Dalam sebuah kampus, organisasi merupakan sebuah penunjang yang sangat mendasar bagi para mahasiswa, dimana mahasiswa di ajak dan di ajar untuk mengenali lingkungan yang mereka tempati sekarang. Kampus tanpa organisasi itu adalah Nol besar, mengapa tidak karena semua yang berada dalam organisasi tertentu itu bisa kita dapatkan, mulai dari berdiskusi, menulis, olahraga, tausyah, drama, musik, tari dll. Jadi teman-teman tinggal memilih salah satu yang ingin dijadikan penunjang masa depannya, tapi tak menutup kemungkinan ada salah seseorang yang memilih dua organisasi sekaligus. Kalau saya sendiri, dalam sebuah organisasi kita diajar untuk mandiri dalam segala hal, mempelajari segala aspek kehidupan, memperdalam wawasan dan mempersiapkan diri untuk langkah kita di masa mendatang. Jadi saya pikir organisasi sangatlah perlu untuk kita, tapi yang menjadi permasalahan adalah dimana para mahasiswa lebih memilih untuk tidak ikut terlibat dalam sebuah organisasi dalam kampus karena beralasan tidak mau ambil pusing dan takut akan merusak masa depannya dalam tanda “mereka takut tak bisa mengatur waktu antara kuliah dan organisasi”, iya begitu tanggapan para mahasiswa yang tidak melebur ke dalam sebuah organisasi. Jika kita pikir-pikir betul juga, tapi kita tak boleh menjastifikasi langsung bahwa organisasi akan berdampak buruk kepada pribadi sang mahasiswa, karena kalau saya sendiri sebagai organisatoris merasa sedikit berwawasan sebelum kami bergabung dengan organisasi, kami mungkin hanya akan diam melihat sesuatu yang salah terjadi di depan kita, karena sikap acuh-acuh kita. Tapi dalam organisasi, kita dilatih dan di asah bagaiaman kita bisa melihat dan bertindak atas apa yang terjadi dan tidak sesuai dengan kebenaran, maka para organisatoris mungkin akan lebih memiliki inisiatif untuk bertindak dan membenarkan semua yang salah menurutnya. Iya pastilah setiap sesuatu memiliki positif dan negatif, dan dampak negatifnya sendiri yaitu pada :
- Orang-orang yang berada dalam sebuah organisasi itu terkadang melupakan kuliahnya, sehingga akan lama selesai akedemiknya.
- Anak-anak organisasi terkadang terlalu cerdas sehingga mereka mampu atau ingin mencari segala sesuatu yang tidak mesti dia ketahui, seperti tuhan dll. Mereka ingin merasionalkan segala sesuatu, termasuk tuhan mereka sendiri. Dan akhirnya mereka akan berada pada jalan yang tidak diridhoi Allah SWT.

Iya sekarang saya berada dalam dunia yang di sebut pendidikan, jadi hanya inilah mungkin sedikit hasil dari beberapa tahun yang lalu hingga sekarang. Dan saya takkan berhenti untuk mencari dan meneliti serta menegur apa-apa saja yang salah dalam dunia yang kita tempati ini kawan.

HIDUP MAHASISWA, HIDUP RAKYAT!!!!