Minggu, 06 Oktober 2013

Pertarungan antar kelas sosial




Karl Marx adalah salah satu pemikir ilmu sosial yang paling fenomenal. Karya-karyanya hingga saat ini banyak dikaji dan dipelajari oleh banyak kalangan. Pemikiran Marx diakui telah memberi warna lain bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial. Pemikirannya menimbulkan banyak kontroversi. Dikritik dan dimusuhi oleh banyak kalangan, tetapi tak sedikit pula yang mendukung dan memujinya.

Berbeda dengan pemikir ilmu sosial lain seperti Emille Durkheim atau Max Weber, pemikiran tokoh yang terusir dari tanah kelahirannya sendiri ini mencakup banyak disiplin ilmu. Marx dikenal sebagai ekonom, sosiolog, ilmuwan politik, sejarawan, dan sekaligus filosof. Teori-teorinya dipandang sebagai yang paling komprehensif menjelaskan berbagai aspek individual dan sosial, mencakup aspek kehidupan manusia, ekonomi, agama, politik, filsafat, stratifikasi sosial, untuk menyebut beberapa.[1]

Teori-teori yang dibangun Marx juga tidak sekadar berhenti pada tataran penjelasan atas fenomena semata, tetapi lebih dari itu menjadi inspirasi bagi perubahan di berbagai belahan dunia. Hal ini tentu tak lepas dari kritiknya atas filsafat saat itu yang dipandangnya tidak memberi kontribusi apapun bagi perubahan kehidupan manusia ke arah yang lebih baik. Salah satu pernyataannya yang terkenal, “Para filosof hanya menginterpretasikan dunia secara berbeda, yang perlu ialah mengubahnya!”[2]

Marx memang mengarahkan filsafat dan ilmu pengetahuan untuk menjadi pendorong bagi perubahan. Hal ini beranjak dari keprihatinannya akan ketimpangan yang terjadi dalam sistem kapitalisme yang mengiringi industrialisasi berkembang pesat di Eropa masa itu. Dalam konteks itulah, Marx coba mengetengahkan pemikiran praksis, yang menjelaskan fenomena yang terjadi di masanya itu yang sekaligus juga menjadi “petunjuk” bagi perubahan.



Teori Kelas

Salah satu pemikiran Marx yang memiliki pengaruh sangat luas adalah teori kelas. Dilandasi oleh pemikiran dasarnya “materialisme-dialektika historis”, Marx memandang perjalanan sejarah umat manusia sejak dulu hingga sekarang adalah sejarah perjuangan kelas. Pernyataannya yang terkenal dalam manifesto komunis, “The history of all hitherto existing society is the history of class struggles.”[3] Baik itu pada masa purba, masa feodal, atau masa kapitalis seperti yang sedang menggejala saat itu, Marx selalu melihat terdapat pertarungan antara kelas yang berkuasa dengan kelas yang dikuasai. Dalam masyarakat kapitalis, kelas-kelas tersebut adalah kelas majikan (borjuis) dan kelas buruh (proletar).

Mengapa pertarungan itu bisa terjadi? Marx menyatakan karena ada kontradiksi dalammode of production kapitalisme. Pertama, capitalist mode of production telah menimbulkan perbedaan pemilikan. Kelas majikan memiliki alat-alat produksi (pabrik, mesin, tanah, dsb.). sementara kelas buruh tidak memiliki tempat atau alat produksi apapun. Satu-satunya yang mereka miliki adalah tenaga kerja, yang itu pun terpaksa mereka jual untuk menyambung hidupnya.

Kedua, capitalist mode of production juga menimbulkan alienasi pada kelas buruh terhadap hasil kerjanya[4]. Kaum buruh sama sekali tidak bisa menikmati produk yang dihasilkannya. Mereka hanya berhak menerima upah sebagai nilai tenaga kerja yang sudah mereka keluarkan. Produk tersebut sepenuhnya menjadi milik kelas borjuis, kaum pemilik modal yang menikmati keuntungan dari surplus value dari harga setiap produk yang dijualnya.

Ketiga, akumulasi kapital dan persaingan di antara kelas kapitalis dalam capitalist mode of production ini menyebabkan meningkatnya eksploitasi terhadap kelas buruh.[5]Karena persaingan ini, mereka akan berlomba-lomba untuk menurunkan harga jual produk agar selalu laku dibeli konsumen. Agar tetap bisa meraup keuntungan, cara yang dilakukan oleh kelas pemilik modal adalah dengan terus menurunkan satu-satunya nilai variabel dalam proses produksinya, yaitu upah buruh.

Singkatnya, hubungan antara dua kelas itu pada dasarnya adalah hubungan kekuasaan: yang satu berkuasa atas yang lain. Kekuasaan itu –yang pada hakikatnya berdasarkan kemampuan majikan untuk meniadakan kesempatan buruh untuk bekerja dan memperoleh nafkah—dipakai untuk menindas keinginan kaum buruh untuk menguasai pekerjaan mereka sendiri, untuk tidak dihisap, agar kaum buruh bekerja seluruhnya untuk mereka. Karena itu, kelas pemilik modal pada hakikatnya merupakan kelas penindas.[6]

Kontradiksi-kontradiksi dalam hubungan produksi kapitalis di atas diramalkan Marx akan berlanjut terus menerus. Pertentangan kepentingan antar dua kelas ini akan semakin tajam. Apalagi persaingan antar kapitalis di sisi lain juga mengakibatkan sebagian kaum kapitalis yang tidak mampu bersaing bangkrut, dan jatuh menjadi kelas buruh yang hanya mengandalkan tenaga kerja sebagai satu-satunya alat produksi. Dengan jumlah yang terus membesar, di tengah himpitan yang semakin kuat, akan menumbuhkan kesadaran kelas di antara kaum buruh sebagai kaum tertindas untuk melakukan perjuangan kelas meruntuhkan formasi kelas yang ada untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas.



Adakah Kelas dan Pertarungan Kelas di Indonesia?

Kapitalisme di Indonesia, sebagaimana di negara-negara lain di berbagai belahan dunia, tentu saja sudah berkembang jauh berbeda dengan kapitalisme sebagaimana dilihat oleh Marx di Eropa pada masanya. Walaupun demikian, beberapa ciri pokok seperti diuraikan di atas masih bisa ditemukan di sebagian besar industri di Indonesia. Kaum buruh masih hanya mengandalkan tenaga kerja sebagai satu-satunya force of production yang dimilikinya untuk dijual kepada pemilik modal. di sisi lain, para pemilik modal masih terus menikmati surplus value yang dihasilkan dari setiap produk yang dijualnya.

Akan tetapi, adakah pembagian kelas sebagaimana diuraikan Marx di Indonesia? Satu hal yang perlu digaribawahi, Marx tidak pernah memberi definisi yang jelas atas konsep “kelas” yang panjang lebar diuraikannya.[7] Dalam hal ini, Franz Magnis-Suseno menguraikan ada dua anggapan. Anggapan pertama adalah berdasarkan definisi yang dsampaikan Lenin yang menyatakan “kelas sosial” sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi. Anggapan kedua menyatakan bahwa sebuah kelas baru dianggap kelas dalam arti sebenarnya, apabila dia bukan hanya “secara obyektif” merupakan golongan sosial dengan kepentingan tersendiri, melainkan juga “secara subjektif” menyadari diri sebagai kelas, sebagai golongan khususdalam masyarakat yang mempunyai kepentingan-kepentingan spesifik serta mau memperjuangkannya.

Dalam konteks tesis utama Marx mengenai perubahan kapitalisme menjadi komunisme, tentunya anggapan kedua lah yang harus dipakai. Dengan dasar anggapan ini, harus diakui bahwa kelas belum sepenuhnya tercipta di Indonesia. Kaum buruh belum sepenuhnya memiliki kesadaran subjektif sebagai satu kelas yang sama sekali berbeda kepentingan dengan kaum pemilik modal dan mau memperjuangkan kepentingannya itu. Ketiadaan ciri kelas ini bisa dilihat dari beberapa faktor.

Pertama, kapitalisme sejatinya adalah “barang impor” yang dibawa oleh kolonialis VOC (lalu Belanda) ke bumi nusantara. Dalam menjalankan ekonomi kapitalis, pemerintah kolonial banyak memanfaatkan (dan berarti tetap memelihara) struktur feodal yang ada di kerajaan-kerajaan nusantara. Alhasil, berbeda dengan tesis Marx, kapitalisme di nusantara bersimbiosis dengan feodalisme. Hubungan yang tercipta pun akhirnya bukan hubungan yang saling berhadap-hadapan sebagaimana dilihat Marx di Eropa, tetapi lebih merupakan hubungan patron-klien. Hubungan seperti ini misalnya, masih bisa ditemui di sentra-sentra industri kerajinan sepatu di Jawa Barat[8].

Kedua, kapitalisme tidak kunjung mencapai puncak krisis sebagaimana diprediksi Marx. Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan hal ini. Mulai dari peran pemerintah dalam mengintervensi tingkat upah buruh dengan penetapan UMR/UMP setiap tahun, mediasi perselisihan melalui berbagai forum –baik yang difasilitasi pemerintah mapun dilakukan sendiri antar buruh dan majikan—, atau sampai pada berbagai konsep welfare stateseperti sharing saham untuk pekerja.

Ketiga, terjadi hegemoni kesadaran sebagaimana disampaikan oleh Antonio Gramschi. Dalam hal ini, kaum buruh di”lena”kan dengan asupan ideologi yang diciptakan oleh negara. Pada masa Orde Baru, hal ini tampak jelas pada pemberlakukan apa yang disebut “Hubungan Industrial Pancasila” dan penanaman nilai bahwa protes dan pemogokan tidak sesuai dengan “jati diri” bangsa. Pada masa reformasi seperti sekarang ini, walaupun protes dan pemogokan sudah diperbolehkan dan bahkan dilindungi oleh Undang-Undang, hegemoni ini masih berlangsung. Kesadaran sistemik terhadap kapitalisme di kalangan buruh pun belum tercipta. Protes dan pemogokan masih terbatas pada hal normatif, seperti perbaikan tingkat upah dan fasilitas kerja.

Berbagai faktor di atas telah membuat kaum buruh di Indonesia tak pernah bisa mencapai kesadaran kelas. Kalaupun ada, kesadaran itu hanya dimiliki oleh segelintir orang (elit buruh atau para aktivis yang beraliran kiri), belum nejadi kesadaran massa seperti yang dicita-citakan Marx. Alhasil, kelas tak kunjung tercipta dan pertarungan kelas tak kunjung terjadi.[9]

LINK BY: KOMPASIANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar