DAY BY DAY
Beberapa medan tempur telah
kulewati, telah menunggu gunung untuk kudaki, kerikil bebatuan memperlihatkan
dirinya yang begitu keras, tetapi mentari bersinar agar semangat tetap terjaga.
Kutenangkan diriku sejenak dengan secangkir kopi beraromakan kehangatan
disetiap relung kehidupan yang teramat kelam di masa lalu.
Pagi itu ternyata pertanda bahwa
telah ada kehidupan yang menantiku diluar sana, kehidupan yang jauh lebih menarik
dan lebih asyk untuk kujalani ketimbang apa yang telah kulalui. Dengan sedikit
lirik lagu perpaduan rock berceritakan cinta, sebatang rokok pun keluar dari
tempatnya dan mulai kubakar dengan sebiji korek kayu, mengeluarkan asap yang
berbentuk bundar, pertanda semangat yang mulai hadir kembali di jiwa yang penuh
ketidakstabilan ini.
Dengan memakai baju batik
bergaris, berwarna coklat perpaduan biru, kulangkahkan kaki menuju teras kos
dimana sepatu all star hitam telah siap untuk dipakai kemudian melanjutkan
aktivifitas rutin saya yaitu kuliah di kampus yang saya banggakan yaitu
Universitas Negeri Makassar. Tepatnya di Fakultas Bahasa dan Sastra, saya
belajar di sebuah Instansi pendidikan dengan mengambil jurusan Bahasa Inggris,
Prody Business English (D3).
Sebelumnya itu, saya dan keluarga
dengan susah payah agar bisa masuk dan belajar di Kampus ini, mulai dari
perjalanan saya yang tidak begitu dekat jaraknya, Antara Jeneponto dan Makassar
adalah jarak maksimal yang telah kutempuh untuk kemudian bisa kunikmati suasana
belajar berstatuskan diri sebagai mahasiswa.
Di sebuah hari saya dikejutkan
dengan sebuah kabar bahwa di gelombang pertama, nama saya tidak tercantum dalam
daftar nama-nama calon mahasiswa baru yang dinyatakan lulus dalam tes. Cician
dan bahasa penyemangat pun berdatangan, saya dikatakan kurang serius dalam tes,
dan juga dikatakan tingkah laku saya tidak menunjukkan rasa yang memang
benar-benar serius ingin lulus, kurang dekat dengan sang pencipta, dan juga
selalu sial, semua kata ini hadir dari bibir orang tua saya, dari pribadi sendiri
saya sangat kecewa saat itu sampai-sampai telat tidur. Untunglah saya memiliki
seorang kaka yang selalu member saya motivasi akan setiap kegagalan yang saya
dapat. “Sabar saja dek, masih ada gelombang berikut yang akan kau jalani, jadi
janganlah terlalu berlarut dalam kegagalanmu ini, semua belum berakhir dan aka
nada masa lagi setelah ini, ok?” sahut kakak saya, “thanks kak, saya akan
bersungguh-sung dan giat lagi dalam berusaha”, jawab saya dengan nada rendah.
Setelah kegagalan itu, atas saran
dari orang tua saya diberi opsi agar memilih jurusan bahasa inggris, dengan alasan
bahwa jika saya mengambil jurusan bahasa inggris saya akan lebih mudah dalam
mencari pekerjaan karena sekarang banyak instansi sekolah yang membutuhkan
tenaga pengajar di jurusan itu, kedua jurusan ini tidak terlalu banyak diminati
oleh para mahasiswa dan mahasiswi yang ingin mendaftarkan dirinya seperti saya.
Mendengar opsi itu, saya agak tertunduk
tak tahu mesti bilang apa, karena jika berbicara mengenai minat dan bakat, saya
tidak terlalu menginginkan itu, sedih bercampur senang. Senang karena dapat diterima
murni di kampus yang memang sudah menjadi cita-cita saya sewaktu masih duduk
dibangku Sekaloah Menengah Atas, dan sekarang saya telah mampu merealisasikan
semuanya, kata Alhamdulillah pun hadir sebagai makna rasa syukur yang mendalam.
Atas dukungan orang tua saya tak lupa berucap terima kasih atas usahanya
mewujudkan cita-cita saya itu, dan dengan itu saya pun bersedia mengambil opsi
yang ditawarkan Bapak saya itu, saya pun mengambil jurusan Bahasa Inggris
tepatnya di Prody Business English.
Hari pertama masuk kampus, saya
langsung melihat suasana yang begitu berbeda dengan sebelumnya, saya melihat
banyak mahasiswa yang berambut panjang atau biasa orang sebut “GONDRONG”, heran
dan takut adalah kesan pertama, bertanya dalam hati “ Apakah seperti ini
mahasiswa?, tidak memiliki aturan seperti dikalah SMA, Berambut panjang,
memakai sandal, memakai celana robek di bagian lutut, memakai baju kaos tak
seragam, merokok di tempat umum layaknya para masyarakat di luar sana, dan
hampir mirip para preman di pelosok pasar. Untunglah saat itu ospek telah
ditiadakan, jadi kami para mahasiswa baru agak sedikit tenang dengan para
senior yang galak dan keras dalam mengkader junior mereka dalam tanda kutip
kami para mahasiswa baru. Yang kata para senior pendahulu bahwa dalam ospek
kita biasa di didik dengan keras seperti: di injak, di pukuli, di kerjain,
disuruh jongkok dan segala jenis hukuman yang bersifat fisik dan tidak asyk deh
pokoknya.
Setiba di pelataran depan kelas
bertingkat tiga yang di beri nama DH sebagai kelas dari jurusan bahasa Inggris
di Fakultas ini, kami para mahasiswa baru disambut dengan ucapan selamat datang
dari berbagai dosen yang siap mengajar kami nanti ketika proses belajar
mengajar telah berlangsung. Berbaris membentuk shaf berjejer dengan teratur
kebelakan. Malu, agak asing dengan suasana kampus, ditambah dengan jumlah kami
yang lumayan banyak, serta melihat cara berpakaian cewe dan cowo membuat
lengkap suasana asing yang saya rasakan. Selembar kertas mulai dibagikan ke
semua mahasiswa, yang di beri nama KRS, yah belum tahu saya apa arti dari
kertas itu dan apa gunanya kami dibagikan. Polos dan lugu benar tingkah saya
dan teman. Tiba-tiba di sebelah kiri saya bertanya dan menyahut saya, “kawan
nama kamu siapa?”, “kenalkan saya chris kawan,” jawab saya. “Oh iya saya irvan,
oia asal kamu dari mana?” lanjut dia, “ saya dari Gowa kawan, kalau kamu?”,
jawab saya. “kalau saya asli Makassar kawan, senang kenalan dengan kamu”. Di
akhiri dengan senyum, dialah teman pertamaku di kampus ini.
Hari berganti hari lebih
singkatnya jam berganti jam, saya mencoba berbaur dan mempelajari segala
budaya, suasana dalam kampus yang saya temapati saat itu, mulai dari sistem
senior dan junior yang tak ada saat saya
berada di SMP dan SMA. Sehingga dihari dan ditempat itu saya menemukan berbagai
kasus, mulai dari pemukulan yang kerap terjadi yang para senior namakan
“ROPOLO”, aturannya: ketika senior berkata A, maka junior harus mengakui dan
mengikutinya, kalau tidak maka akan ada konsekwensi dan masalah yang muncul,
tak peduli salah atau benar karena kultur ini telah turun temurun berjalan dan
sudah berakar. Jadi dari kejadian itu saya mendengar sebuah pernyataan bahwa “
ketika senior berkata A, maka junior harus ikut, dalam ada pasal yang
mengatakan bahwa senior selalu benar, dan para junior harus patuh dan tunduk
atas aturan yang telah ada itu.” Kami tidak dapat melawan sebab kami takut akan
mereka-mereka yang berambut gondrong dan lebih paham akan kultur kampus, juga
dibantu dengan para senior terdahulu yang mengaminkan aturan itu.
Di hari berikut, saya berjalan
kearah bawah menuju parkiran bersiap untuk pulang, saya ditahan karena rambut
saya tidak BOTAK, “woy, rambutmu kenapa panjang?”, “iya maaf kak, nanti saya
potong besok,” jawab saya, “ oke, awas nanti saya lihat terus masih panjang
seperti itu”, sahutnya lagi. “baik kak, maaf sebelumnya.” Dalam hati, weh
bahaya ternyata, senior-senior disini galak. Hehehe. Sampai disitu, belum usai,
di parkiran saya di dapat lagi oleh senior yang lebih tua, “dek, rambutmu
kenapa panjang, saya punya ketter disini, mau saya ketter rambutmu?” sahut
sebior itu yang tidak saya tahu namanya. Saya pun langsung kaget dan takut lalu
spontan menjawab . “maaf kak, saya akan potong besok”, “ awas saya lihat besok
tidak berubah”, sahut dia, “oke kak, janji”, “ oke jalan mako,”. “Iya kak
makasih”, jawab saya dengan ekspresi rasa takut yang mendalam, hehehe.
Sampai di rumah, saya selalu
mengingat peristiwa di kampus tadi, kenpa seperti itu dan apa kepentingan yang
di cari oleh para senior yang memperlakukan adik-adiknya seperti itu?.
Sepertinya ada yang tidak beres dengan semuanya, dan akhirnya sambil memikirkan
itu mata saya pun tertutup.
Besoknya saya berjalan lagi
dengan sedikit hati-hati, di tangga lantai 2 saya bertemu senior yang menyuruh
saya mencukur rambut, dia satu level diatas saya yaitu angkatan 2010. Saat itu
matanya melotot melihat kearah saya, pembicaraan pun terhenti karena kakak
senior yang melotot learah saya, sehingga saya pun sadar bahwa pasti dia sedang
memperhatikan rambut saya. Pantas memang dia seperti itu karena diantara
teman-teman saya yang lain hanya saya yang agak panjang rambutnya sedikit, dan
juga peringatannya yang tidak saya lakukan, saya belum potong rambut. Setiba di
depannya matanya terus melotot kearah saya, sampai saya pun lewat di depannya
dengan keadaan menunduk dan sempat saya berfikir saya akan lolos karena saya
sudah lewat didepannya dan tidak kunjung di panggil-panggil. Pas ditengah perjalanan
dia langsung berlari kearah saya dan hendak mengayungkan tangannya kea rah
badan saya, dan senior yang lain pun melerai kejadian itu dan menurungkan emosi
senior yang hendak memukuli saya itu,dan segera menenkan suasana “ tenang
kawan, dek pergimiki janganki dengarki ini.” Sahut senior yang lain kepada
saya.” Dengan perasaan kaget saya pun melanjutkan perjalanan dan segera
memasuki ruangan kelasku. Geleng kepala, apa maksud dari semua ini? Jawab saya
dalam hati.
Di hari selanjutnya saya telah
cukur rambut untuk kedua kalinya, tapi saya masih mendapat teguran keras dan
ancaman dari senior yang lain, karena masih panjang katanya. Saya kemudian
cukur lagi yang ketiga kalinya dan sampai akhirnya saya botak. Saya sangat
benci dengan model rambut seperti itu karena maklum bentuk kepala saya tidak
terlalu keren untuk dipandang oleh teman-teman seangkatan, khususnya teman
kelas. Tapi alasan itu tidak membuat saya kuat untuk tidak mencukur rambut
hingga botak. Ya ampun kenapa seperti ini system yang dipertahankan dalam
sebuah instansi pendidikan, sementara ketika kita berbicara status, kita
sama-sama mahasiswa yang memiliki tujuan yang sama yaitu mendapatkan dan
mengenyam pendidikan yang layak dan maksimal oleh para tenaga pengajar yang ada
di dalam kampus ini. dan anehnya lagi perlakuan seperti ini hampir setiap
harinya. Yah tapi kita juga harus menerima budaya yang telah ada sejak beberapa
tahun yang lalu.
Sampai di kemudian hari kultur
baru pun saya temui, yaitu para senior sering memajaki kami, memintai kami uang
dalam jumlah yang tidak sedikit dan seperti kultur yang lain, ini terjadi
setiap kali kami bertemu senior. Menyurh kami membeli kopi dengan uang kami,
menyuruh kami membeli rokok dll yang menjadi kebutuhan mereka. Kami sama sekali
tidak dihargai dan tidak di lihat dalam kampus tersebut, diperlakukan seperti
layaknya para budak yang sama sekali tidak berguna dan hanya pantas untuk di
suruh-suruh.
Dan selama satu tahun kami
diperlakukan seperti itu, sampai akhirnya semester baru pun tiba dan kami pun memiliki
adik, saya beri nama adik karena kami bukan senior yang seperti mereka lakukan
kepada kami di semester yang lalu. Kesadaran kami telah muncul karena
pengalaman telah mengajari kami bahwa kultur seperti itu tidak bagus adanya,
dan tidak layak untuk diterapkan, maksudku ketika saya tidak suka diperlakukan
seperti senior memperlakukanku dulu, artinya adik-adik saya pun tidak suka itu
dan mungkin saya tidak akan melakukan hal yang sama kepada adik saya nanti.
Lantas apa bedanya saya dengan senior yang saya anggap tidak benar. Saya hanya
berharap bahwa kejadian ini hanya saya yang meresakannya, tidak untuk balas
dendam untuk adik saya.
Kapan habisnya kultur bobrok ini,
ketika saya melanjutkannya ke adik-adik saya? Jadi mungkin pengalaman saya di
perlakukan seperti itu bisa menumbuhkan rasa prihatin yang akhirnya saya dan
teman seangkatan saya bisa memutus kultur itu.
Mungkin seperti itu setahun
cerita saya di kampus. Sampai jumpa di cerita berikutnya kawan. Hidup mahasiswa
dan hidup rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar