Minggu, 06 Januari 2013

HITUNGAN HARI MENELUSURI KULTUR KAMPUS


DAY BY DAY


Beberapa medan tempur telah kulewati, telah menunggu gunung untuk kudaki, kerikil bebatuan memperlihatkan dirinya yang begitu keras, tetapi mentari bersinar agar semangat tetap terjaga. Kutenangkan diriku sejenak dengan secangkir kopi beraromakan kehangatan disetiap relung kehidupan yang teramat kelam di masa lalu.
Pagi itu ternyata pertanda bahwa telah ada kehidupan yang menantiku diluar sana, kehidupan yang jauh lebih menarik dan lebih asyk untuk kujalani ketimbang apa yang telah kulalui. Dengan sedikit lirik lagu perpaduan rock berceritakan cinta, sebatang rokok pun keluar dari tempatnya dan mulai kubakar dengan sebiji korek kayu, mengeluarkan asap yang berbentuk bundar, pertanda semangat yang mulai hadir kembali di jiwa yang penuh ketidakstabilan ini.
Dengan memakai baju batik bergaris, berwarna coklat perpaduan biru, kulangkahkan kaki menuju teras kos dimana sepatu all star hitam telah siap untuk dipakai kemudian melanjutkan aktivifitas rutin saya yaitu kuliah di kampus yang saya banggakan yaitu Universitas Negeri Makassar. Tepatnya di Fakultas Bahasa dan Sastra, saya belajar di sebuah Instansi pendidikan dengan mengambil jurusan Bahasa Inggris, Prody Business English (D3).
Sebelumnya itu, saya dan keluarga dengan susah payah agar bisa masuk dan belajar di Kampus ini, mulai dari perjalanan saya yang tidak begitu dekat jaraknya, Antara Jeneponto dan Makassar adalah jarak maksimal yang telah kutempuh untuk kemudian bisa kunikmati suasana belajar berstatuskan diri sebagai mahasiswa.
Di sebuah hari saya dikejutkan dengan sebuah kabar bahwa di gelombang pertama, nama saya tidak tercantum dalam daftar nama-nama calon mahasiswa baru yang dinyatakan lulus dalam tes. Cician dan bahasa penyemangat pun berdatangan, saya dikatakan kurang serius dalam tes, dan juga dikatakan tingkah laku saya tidak menunjukkan rasa yang memang benar-benar serius ingin lulus, kurang dekat dengan sang pencipta, dan juga selalu sial, semua kata ini hadir dari bibir orang tua saya, dari pribadi sendiri saya sangat kecewa saat itu sampai-sampai telat tidur. Untunglah saya memiliki seorang kaka yang selalu member saya motivasi akan setiap kegagalan yang saya dapat. “Sabar saja dek, masih ada gelombang berikut yang akan kau jalani, jadi janganlah terlalu berlarut dalam kegagalanmu ini, semua belum berakhir dan aka nada masa lagi setelah ini, ok?” sahut kakak saya, “thanks kak, saya akan bersungguh-sung dan giat lagi dalam berusaha”, jawab saya dengan nada rendah.
Setelah kegagalan itu, atas saran dari orang tua saya diberi opsi agar memilih jurusan bahasa inggris, dengan alasan bahwa jika saya mengambil jurusan bahasa inggris saya akan lebih mudah dalam mencari pekerjaan karena sekarang banyak instansi sekolah yang membutuhkan tenaga pengajar di jurusan itu, kedua jurusan ini tidak terlalu banyak diminati oleh para mahasiswa dan mahasiswi yang ingin mendaftarkan dirinya seperti saya.  Mendengar opsi itu, saya agak tertunduk tak tahu mesti bilang apa, karena jika berbicara mengenai minat dan bakat, saya tidak terlalu menginginkan itu, sedih bercampur senang. Senang karena dapat diterima murni di kampus yang memang sudah menjadi cita-cita saya sewaktu masih duduk dibangku Sekaloah Menengah Atas, dan sekarang saya telah mampu merealisasikan semuanya, kata Alhamdulillah pun hadir sebagai makna rasa syukur yang mendalam. Atas dukungan orang tua saya tak lupa berucap terima kasih atas usahanya mewujudkan cita-cita saya itu, dan dengan itu saya pun bersedia mengambil opsi yang ditawarkan Bapak saya itu, saya pun mengambil jurusan Bahasa Inggris tepatnya di Prody Business English.
Hari pertama masuk kampus, saya langsung melihat suasana yang begitu berbeda dengan sebelumnya, saya melihat banyak mahasiswa yang berambut panjang atau biasa orang sebut “GONDRONG”, heran dan takut adalah kesan pertama, bertanya dalam hati “ Apakah seperti ini mahasiswa?, tidak memiliki aturan seperti dikalah SMA, Berambut panjang, memakai sandal, memakai celana robek di bagian lutut, memakai baju kaos tak seragam, merokok di tempat umum layaknya para masyarakat di luar sana, dan hampir mirip para preman di pelosok pasar. Untunglah saat itu ospek telah ditiadakan, jadi kami para mahasiswa baru agak sedikit tenang dengan para senior yang galak dan keras dalam mengkader junior mereka dalam tanda kutip kami para mahasiswa baru. Yang kata para senior pendahulu bahwa dalam ospek kita biasa di didik dengan keras seperti: di injak, di pukuli, di kerjain, disuruh jongkok dan segala jenis hukuman yang bersifat fisik dan tidak asyk deh pokoknya.
Setiba di pelataran depan kelas bertingkat tiga yang di beri nama DH sebagai kelas dari jurusan bahasa Inggris di Fakultas ini, kami para mahasiswa baru disambut dengan ucapan selamat datang dari berbagai dosen yang siap mengajar kami nanti ketika proses belajar mengajar telah berlangsung. Berbaris membentuk shaf berjejer dengan teratur kebelakan. Malu, agak asing dengan suasana kampus, ditambah dengan jumlah kami yang lumayan banyak, serta melihat cara berpakaian cewe dan cowo membuat lengkap suasana asing yang saya rasakan. Selembar kertas mulai dibagikan ke semua mahasiswa, yang di beri nama KRS, yah belum tahu saya apa arti dari kertas itu dan apa gunanya kami dibagikan. Polos dan lugu benar tingkah saya dan teman. Tiba-tiba di sebelah kiri saya bertanya dan menyahut saya, “kawan nama kamu siapa?”, “kenalkan saya chris kawan,” jawab saya. “Oh iya saya irvan, oia asal kamu dari mana?” lanjut dia, “ saya dari Gowa kawan, kalau kamu?”, jawab saya. “kalau saya asli Makassar kawan, senang kenalan dengan kamu”. Di akhiri dengan senyum, dialah teman pertamaku di kampus ini.
Hari berganti hari lebih singkatnya jam berganti jam, saya mencoba berbaur dan mempelajari segala budaya, suasana dalam kampus yang saya temapati saat itu, mulai dari sistem senior dan  junior yang tak ada saat saya berada di SMP dan SMA. Sehingga dihari dan ditempat itu saya menemukan berbagai kasus, mulai dari pemukulan yang kerap terjadi yang para senior namakan “ROPOLO”, aturannya: ketika senior berkata A, maka junior harus mengakui dan mengikutinya, kalau tidak maka akan ada konsekwensi dan masalah yang muncul, tak peduli salah atau benar karena kultur ini telah turun temurun berjalan dan sudah berakar. Jadi dari kejadian itu saya mendengar sebuah pernyataan bahwa “ ketika senior berkata A, maka junior harus ikut, dalam ada pasal yang mengatakan bahwa senior selalu benar, dan para junior harus patuh dan tunduk atas aturan yang telah ada itu.” Kami tidak dapat melawan sebab kami takut akan mereka-mereka yang berambut gondrong dan lebih paham akan kultur kampus, juga dibantu dengan para senior terdahulu yang mengaminkan aturan itu.
Di hari berikut, saya berjalan kearah bawah menuju parkiran bersiap untuk pulang, saya ditahan karena rambut saya tidak BOTAK, “woy, rambutmu kenapa panjang?”, “iya maaf kak, nanti saya potong besok,” jawab saya, “ oke, awas nanti saya lihat terus masih panjang seperti itu”, sahutnya lagi. “baik kak, maaf sebelumnya.” Dalam hati, weh bahaya ternyata, senior-senior disini galak. Hehehe. Sampai disitu, belum usai, di parkiran saya di dapat lagi oleh senior yang lebih tua, “dek, rambutmu kenapa panjang, saya punya ketter disini, mau saya ketter rambutmu?” sahut sebior itu yang tidak saya tahu namanya. Saya pun langsung kaget dan takut lalu spontan menjawab . “maaf kak, saya akan potong besok”, “ awas saya lihat besok tidak berubah”, sahut dia, “oke kak, janji”, “ oke jalan mako,”. “Iya kak makasih”, jawab saya dengan ekspresi rasa takut yang mendalam, hehehe.
Sampai di rumah, saya selalu mengingat peristiwa di kampus tadi, kenpa seperti itu dan apa kepentingan yang di cari oleh para senior yang memperlakukan adik-adiknya seperti itu?. Sepertinya ada yang tidak beres dengan semuanya, dan akhirnya sambil memikirkan itu mata saya pun tertutup.
Besoknya saya berjalan lagi dengan sedikit hati-hati, di tangga lantai 2 saya bertemu senior yang menyuruh saya mencukur rambut, dia satu level diatas saya yaitu angkatan 2010. Saat itu matanya melotot melihat kearah saya, pembicaraan pun terhenti karena kakak senior yang melotot learah saya, sehingga saya pun sadar bahwa pasti dia sedang memperhatikan rambut saya. Pantas memang dia seperti itu karena diantara teman-teman saya yang lain hanya saya yang agak panjang rambutnya sedikit, dan juga peringatannya yang tidak saya lakukan, saya belum potong rambut. Setiba di depannya matanya terus melotot kearah saya, sampai saya pun lewat di depannya dengan keadaan menunduk dan sempat saya berfikir saya akan lolos karena saya sudah lewat didepannya dan tidak kunjung di panggil-panggil. Pas ditengah perjalanan dia langsung berlari kearah saya dan hendak mengayungkan tangannya kea rah badan saya, dan senior yang lain pun melerai kejadian itu dan menurungkan emosi senior yang hendak memukuli saya itu,dan segera menenkan suasana “ tenang kawan, dek pergimiki janganki dengarki ini.” Sahut senior yang lain kepada saya.” Dengan perasaan kaget saya pun melanjutkan perjalanan dan segera memasuki ruangan kelasku. Geleng kepala, apa maksud dari semua ini? Jawab saya dalam hati.
Di hari selanjutnya saya telah cukur rambut untuk kedua kalinya, tapi saya masih mendapat teguran keras dan ancaman dari senior yang lain, karena masih panjang katanya. Saya kemudian cukur lagi yang ketiga kalinya dan sampai akhirnya saya botak. Saya sangat benci dengan model rambut seperti itu karena maklum bentuk kepala saya tidak terlalu keren untuk dipandang oleh teman-teman seangkatan, khususnya teman kelas. Tapi alasan itu tidak membuat saya kuat untuk tidak mencukur rambut hingga botak. Ya ampun kenapa seperti ini system yang dipertahankan dalam sebuah instansi pendidikan, sementara ketika kita berbicara status, kita sama-sama mahasiswa yang memiliki tujuan yang sama yaitu mendapatkan dan mengenyam pendidikan yang layak dan maksimal oleh para tenaga pengajar yang ada di dalam kampus ini. dan anehnya lagi perlakuan seperti ini hampir setiap harinya. Yah tapi kita juga harus menerima budaya yang telah ada sejak beberapa tahun yang lalu.
Sampai di kemudian hari kultur baru pun saya temui, yaitu para senior sering memajaki kami, memintai kami uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan seperti kultur yang lain, ini terjadi setiap kali kami bertemu senior. Menyurh kami membeli kopi dengan uang kami, menyuruh kami membeli rokok dll yang menjadi kebutuhan mereka. Kami sama sekali tidak dihargai dan tidak di lihat dalam kampus tersebut, diperlakukan seperti layaknya para budak yang sama sekali tidak berguna dan hanya pantas untuk di suruh-suruh.
Dan selama satu tahun kami diperlakukan seperti itu, sampai akhirnya semester baru pun tiba dan kami pun memiliki adik, saya beri nama adik karena kami bukan senior yang seperti mereka lakukan kepada kami di semester yang lalu. Kesadaran kami telah muncul karena pengalaman telah mengajari kami bahwa kultur seperti itu tidak bagus adanya, dan tidak layak untuk diterapkan, maksudku ketika saya tidak suka diperlakukan seperti senior memperlakukanku dulu, artinya adik-adik saya pun tidak suka itu dan mungkin saya tidak akan melakukan hal yang sama kepada adik saya nanti. Lantas apa bedanya saya dengan senior yang saya anggap tidak benar. Saya hanya berharap bahwa kejadian ini hanya saya yang meresakannya, tidak untuk balas dendam untuk adik saya.
Kapan habisnya kultur bobrok ini, ketika saya melanjutkannya ke adik-adik saya? Jadi mungkin pengalaman saya di perlakukan seperti itu bisa menumbuhkan rasa prihatin yang akhirnya saya dan teman seangkatan saya bisa memutus kultur itu.
Mungkin seperti itu setahun cerita saya di kampus. Sampai jumpa di cerita berikutnya kawan. Hidup mahasiswa dan hidup rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar