Selasa, 01 Mei 2012

Upaya memerdekakan diri

  “Kemerdekaan memang sebuah risiko. Siapa yang takut itu, biarlah jadi batu.” (Goenawan Muhammad, 1985).

Siapa yang bisa menjamin bahwa kita telah merengkuh kemerdekaan secara utuh-menyeluruh? Ia selalu dikungkung oleh batasan-batasan tertentu. Memerdekakan diri berarti mencurahkan segenap usaha untuk memperkecil ruang-ruang batasan itu sendiri. Membebaskan hal-ihwal yang memenjarakan diri dalam keterjajahan pergerakan.

Dalam perspektif individualisme kaum Barat, setiap individu merupakan pribadi yang unik dengan apa yang dimiliki masing-masing. Karena itu, mereka sangat menghargai perbedaan antar sesama mereka sebagai bentuk kemerdekaan individual.

Begitu juga dengan prinsip kolektivisme kaum Timur yang meraih kemerdekaannya dengan mengedepankan asas musyawarah dan mufakat. Dengan asas tersebut, mereka secara bersama-sama memerdekakan kelompoknya, yaitu suatu bentuk kemerdekaan bersama yang dikenal sebagai kemerdekaan kolektif.

Sejatinya, merdeka merupakan suatu keadaan yang terbebas dari segala bentuk intervensi luar dalam multi-aspek yang sangat kompleks. Terutama pembebasan diri dari penindasan atas pikiran dan nurani seseorang. Itu adalah hal fundamental yang wajib untuk diperjuangkan jiwa-jiwa yang haus akan semangat pembebasan.

Bagi seorang mahasiswa, spirit di atas tentu saja bisa diejawantahkan dalam berbagai bentuk sesuai dengan perspektif masing-masing dalam menginterpretasikannya (penginterpretasikan lintas perspektif ini sendiri merupakan bagian dari proses menuju “pemerdekaan persepsi”). Salah satu wujud nyata pemerdekaan diri dari kolonialisme pikiran dan nurani itu adalah, dengan menegakkan prinsip advokasi terhadap mahasiswa dan masyarakat atas euforia dan hegemoni para penguasa.

Artinya sebuah upaya mahasiswa untuk berada di luar ranah dan jauh dari tapal batas penguasa serta menjadi pihak oposisi dengan “mengimbangi” setiap sikap ataupun kebijakan para penguasa tersebut. Tentunya hal itu semata-mata dilakukan demi membela aspirasi masyarakat terhadap kesemena-menaan pemimpin atau penguasanya.

Pembelaan atau advokasi yang dalam perspektif peran mahasiswa dikategorikan sebagai fungsi kontrol sosial (social control) itu kian mempertegas relevansi antara prinsip-prinsip pemerdekaan diri intelektual kampus dengan pengejawantahan prinsip-prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat.

Lebih spesifiknya lagi, mahasiswa hadir dan berdiri di garda depan untuk mengontrol setiap euforia sikap, kebijakan dan tindak-tanduk pihak rektorat kampus sendiri. Hal tersebut merupakan upaya nyata untuk memerdekakan diri dari hal apa saja yang dilakukan pihak rektorat, yang diasumsikan bisa “mengusik” rasa kemerdekaan seluruh mahasiswa dalam rangka meningkatkan taraf pendidikan dan orientasi masa depan di kampus mereka. Dan, semua hal itu tentunya dipersepsikan setelah melalui proses penyaringan (filterisasi) dari pikiran dan nurani terdalam seorang mahasiswa.

Seorang mahasiswa yang paham betul akan eksistensi kemerdekaan pikiran dan nuraninya tentu akan mengerahkan segenap ikhtiar untuk mempertahankan, membela atau mengadvokasi kemerdekaannya yang dirasa berpijak pada asas kebenaran. Ketika ia merasa sudah menunaikan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa, maka bisa dipastikan ia akan menuntut hak-haknya yang timbul dari proses “sebab” agar ia menuai “akibat”-nya. Sebab ia telah menunaikan kewajiban, maka akibatnya ia akan memeroleh haknya; hak seorang mahasiswa.

Dan, jika hak itu tak terpenuhi, pastinya ia akan mengkalkulasikan segala bentuk alternatif untuk dipraktikkan dalam upaya merebut kembali kemerdekaan yang telah tercerabut dari dirinya, bahkan dengan cara-cara ekstrim sekali pun, dengan catatan tak melanggar aturan, norma dan etika yang telah ditetapkan. Pada titik ini, hanya tipikal-tipikal mahasiswa tertentu saja yang mampu melaksanakannya.

Sebagaimana yang dikatakan Seneca, seorang filsuf Stoik Romawi, “He who is brave is free. (Dia yang berani berarti bebas).” Hanya orang-orang berani yang mampu mengekspresikan hasrat pemerdekaan dirinya dengan baik dan sistematis. Seorang mahasiswa yang berani dan memiliki kecerdasan emosional-intelektual yang matang akan menghadapi realitas kolonialisasi atas dirinya dan berteriak lantang dengan semangat pembebasan yang sulit dibinasakan.

Sementara bagi yang lain mungkin akan menunggu reaksi tipe mahasiswa di atas dulu untuk bergerak. Sejujurnya mereka, yang masih tetap menunggu itu takut untuk memerdekakan dirinya dan lebih memilih orang lain untuk melakukan hal tersebut, untuknya.

Memang benar apa yang ditulis Goenawan Muhammad (GM) dalam kutipan di atas. Merdeka itu penuh risiko. Dan karena itu banyak orang tak tergerak hatinya untuk merdeka, walau dari penindasan dan kezaliman nyata dan akut seorang penguasa sekali pun.

Akhiru kalam, bagi mereka yang masih merasa belum tergerak hatinya untuk memerdekakan pikiran dan nurani, ada baiknya untuk merenungi kembali apa yang pernah diucapkan Soe Hok Gie (1942 – 1969):

“Kenapa harus takut melawan? Bangsa ini merdeka pun karena melawan.”

Pertanyaannya adalah, sudah siapkah kita untuk merdeka?