Selasa, 10 Desember 2013

Kawan lama kemana saja?



Kawan lama??? kemana saja, kenapa baru muncul? lama kita tak bersua...
kawan lama, mana botol yang sering kau tunjukkan padaku? kau masih yang dulu kan?...
kamarmu masih gelap, kemana arah kapinya? dan santapan pil berwanrnamu...
kenapa diam? kawan, asap rokokmu menghalangi pandanganku, aku ingin melihat, aku jenuh dengan kebutaan ini...
atau kau memintaku pergi? ataukah kau tak ingin berimagi bersama layaknya kita? senandung lirih diatas dermaga, atau harus kubenarkan kata mereka bahwa kopi sajianmu dulu itu di dalamnya ada beberapa tetes hina?...aku butuh cahaya kawan, setetes saja untuk melanjutkan hidupku, jangan biarkan aku mengarah ke bukit sana, disini gelap, tak sedikitpun ada cahaya...
kawan, mungkin saja esok tak ingin melihatku lagi, kawan, mungkin saja esok kawan barumu tak memarahimu jika kau khilaf, mungkin saja kawan barumu hanya melihat perhiasan mengkilatmu...
kawan, tempat ini semakin gelap. kemana arah tanganmu? kemana aku hendak menggapainya?....
atau kuiris saja tangan kanan ini dari pecahan botol kemarin?,,,
Kawan, aku duluan, jangan ikuti sedikitpun langkah yang pernah kulalui kemarin, terlalu banyak duri, apalagi sendiri....!!!!

Minggu, 06 Oktober 2013

Pertarungan antar kelas sosial




Karl Marx adalah salah satu pemikir ilmu sosial yang paling fenomenal. Karya-karyanya hingga saat ini banyak dikaji dan dipelajari oleh banyak kalangan. Pemikiran Marx diakui telah memberi warna lain bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial. Pemikirannya menimbulkan banyak kontroversi. Dikritik dan dimusuhi oleh banyak kalangan, tetapi tak sedikit pula yang mendukung dan memujinya.

Berbeda dengan pemikir ilmu sosial lain seperti Emille Durkheim atau Max Weber, pemikiran tokoh yang terusir dari tanah kelahirannya sendiri ini mencakup banyak disiplin ilmu. Marx dikenal sebagai ekonom, sosiolog, ilmuwan politik, sejarawan, dan sekaligus filosof. Teori-teorinya dipandang sebagai yang paling komprehensif menjelaskan berbagai aspek individual dan sosial, mencakup aspek kehidupan manusia, ekonomi, agama, politik, filsafat, stratifikasi sosial, untuk menyebut beberapa.[1]

Teori-teori yang dibangun Marx juga tidak sekadar berhenti pada tataran penjelasan atas fenomena semata, tetapi lebih dari itu menjadi inspirasi bagi perubahan di berbagai belahan dunia. Hal ini tentu tak lepas dari kritiknya atas filsafat saat itu yang dipandangnya tidak memberi kontribusi apapun bagi perubahan kehidupan manusia ke arah yang lebih baik. Salah satu pernyataannya yang terkenal, “Para filosof hanya menginterpretasikan dunia secara berbeda, yang perlu ialah mengubahnya!”[2]

Marx memang mengarahkan filsafat dan ilmu pengetahuan untuk menjadi pendorong bagi perubahan. Hal ini beranjak dari keprihatinannya akan ketimpangan yang terjadi dalam sistem kapitalisme yang mengiringi industrialisasi berkembang pesat di Eropa masa itu. Dalam konteks itulah, Marx coba mengetengahkan pemikiran praksis, yang menjelaskan fenomena yang terjadi di masanya itu yang sekaligus juga menjadi “petunjuk” bagi perubahan.



Teori Kelas

Salah satu pemikiran Marx yang memiliki pengaruh sangat luas adalah teori kelas. Dilandasi oleh pemikiran dasarnya “materialisme-dialektika historis”, Marx memandang perjalanan sejarah umat manusia sejak dulu hingga sekarang adalah sejarah perjuangan kelas. Pernyataannya yang terkenal dalam manifesto komunis, “The history of all hitherto existing society is the history of class struggles.”[3] Baik itu pada masa purba, masa feodal, atau masa kapitalis seperti yang sedang menggejala saat itu, Marx selalu melihat terdapat pertarungan antara kelas yang berkuasa dengan kelas yang dikuasai. Dalam masyarakat kapitalis, kelas-kelas tersebut adalah kelas majikan (borjuis) dan kelas buruh (proletar).

Mengapa pertarungan itu bisa terjadi? Marx menyatakan karena ada kontradiksi dalammode of production kapitalisme. Pertama, capitalist mode of production telah menimbulkan perbedaan pemilikan. Kelas majikan memiliki alat-alat produksi (pabrik, mesin, tanah, dsb.). sementara kelas buruh tidak memiliki tempat atau alat produksi apapun. Satu-satunya yang mereka miliki adalah tenaga kerja, yang itu pun terpaksa mereka jual untuk menyambung hidupnya.

Kedua, capitalist mode of production juga menimbulkan alienasi pada kelas buruh terhadap hasil kerjanya[4]. Kaum buruh sama sekali tidak bisa menikmati produk yang dihasilkannya. Mereka hanya berhak menerima upah sebagai nilai tenaga kerja yang sudah mereka keluarkan. Produk tersebut sepenuhnya menjadi milik kelas borjuis, kaum pemilik modal yang menikmati keuntungan dari surplus value dari harga setiap produk yang dijualnya.

Ketiga, akumulasi kapital dan persaingan di antara kelas kapitalis dalam capitalist mode of production ini menyebabkan meningkatnya eksploitasi terhadap kelas buruh.[5]Karena persaingan ini, mereka akan berlomba-lomba untuk menurunkan harga jual produk agar selalu laku dibeli konsumen. Agar tetap bisa meraup keuntungan, cara yang dilakukan oleh kelas pemilik modal adalah dengan terus menurunkan satu-satunya nilai variabel dalam proses produksinya, yaitu upah buruh.

Singkatnya, hubungan antara dua kelas itu pada dasarnya adalah hubungan kekuasaan: yang satu berkuasa atas yang lain. Kekuasaan itu –yang pada hakikatnya berdasarkan kemampuan majikan untuk meniadakan kesempatan buruh untuk bekerja dan memperoleh nafkah—dipakai untuk menindas keinginan kaum buruh untuk menguasai pekerjaan mereka sendiri, untuk tidak dihisap, agar kaum buruh bekerja seluruhnya untuk mereka. Karena itu, kelas pemilik modal pada hakikatnya merupakan kelas penindas.[6]

Kontradiksi-kontradiksi dalam hubungan produksi kapitalis di atas diramalkan Marx akan berlanjut terus menerus. Pertentangan kepentingan antar dua kelas ini akan semakin tajam. Apalagi persaingan antar kapitalis di sisi lain juga mengakibatkan sebagian kaum kapitalis yang tidak mampu bersaing bangkrut, dan jatuh menjadi kelas buruh yang hanya mengandalkan tenaga kerja sebagai satu-satunya alat produksi. Dengan jumlah yang terus membesar, di tengah himpitan yang semakin kuat, akan menumbuhkan kesadaran kelas di antara kaum buruh sebagai kaum tertindas untuk melakukan perjuangan kelas meruntuhkan formasi kelas yang ada untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas.



Adakah Kelas dan Pertarungan Kelas di Indonesia?

Kapitalisme di Indonesia, sebagaimana di negara-negara lain di berbagai belahan dunia, tentu saja sudah berkembang jauh berbeda dengan kapitalisme sebagaimana dilihat oleh Marx di Eropa pada masanya. Walaupun demikian, beberapa ciri pokok seperti diuraikan di atas masih bisa ditemukan di sebagian besar industri di Indonesia. Kaum buruh masih hanya mengandalkan tenaga kerja sebagai satu-satunya force of production yang dimilikinya untuk dijual kepada pemilik modal. di sisi lain, para pemilik modal masih terus menikmati surplus value yang dihasilkan dari setiap produk yang dijualnya.

Akan tetapi, adakah pembagian kelas sebagaimana diuraikan Marx di Indonesia? Satu hal yang perlu digaribawahi, Marx tidak pernah memberi definisi yang jelas atas konsep “kelas” yang panjang lebar diuraikannya.[7] Dalam hal ini, Franz Magnis-Suseno menguraikan ada dua anggapan. Anggapan pertama adalah berdasarkan definisi yang dsampaikan Lenin yang menyatakan “kelas sosial” sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi. Anggapan kedua menyatakan bahwa sebuah kelas baru dianggap kelas dalam arti sebenarnya, apabila dia bukan hanya “secara obyektif” merupakan golongan sosial dengan kepentingan tersendiri, melainkan juga “secara subjektif” menyadari diri sebagai kelas, sebagai golongan khususdalam masyarakat yang mempunyai kepentingan-kepentingan spesifik serta mau memperjuangkannya.

Dalam konteks tesis utama Marx mengenai perubahan kapitalisme menjadi komunisme, tentunya anggapan kedua lah yang harus dipakai. Dengan dasar anggapan ini, harus diakui bahwa kelas belum sepenuhnya tercipta di Indonesia. Kaum buruh belum sepenuhnya memiliki kesadaran subjektif sebagai satu kelas yang sama sekali berbeda kepentingan dengan kaum pemilik modal dan mau memperjuangkan kepentingannya itu. Ketiadaan ciri kelas ini bisa dilihat dari beberapa faktor.

Pertama, kapitalisme sejatinya adalah “barang impor” yang dibawa oleh kolonialis VOC (lalu Belanda) ke bumi nusantara. Dalam menjalankan ekonomi kapitalis, pemerintah kolonial banyak memanfaatkan (dan berarti tetap memelihara) struktur feodal yang ada di kerajaan-kerajaan nusantara. Alhasil, berbeda dengan tesis Marx, kapitalisme di nusantara bersimbiosis dengan feodalisme. Hubungan yang tercipta pun akhirnya bukan hubungan yang saling berhadap-hadapan sebagaimana dilihat Marx di Eropa, tetapi lebih merupakan hubungan patron-klien. Hubungan seperti ini misalnya, masih bisa ditemui di sentra-sentra industri kerajinan sepatu di Jawa Barat[8].

Kedua, kapitalisme tidak kunjung mencapai puncak krisis sebagaimana diprediksi Marx. Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan hal ini. Mulai dari peran pemerintah dalam mengintervensi tingkat upah buruh dengan penetapan UMR/UMP setiap tahun, mediasi perselisihan melalui berbagai forum –baik yang difasilitasi pemerintah mapun dilakukan sendiri antar buruh dan majikan—, atau sampai pada berbagai konsep welfare stateseperti sharing saham untuk pekerja.

Ketiga, terjadi hegemoni kesadaran sebagaimana disampaikan oleh Antonio Gramschi. Dalam hal ini, kaum buruh di”lena”kan dengan asupan ideologi yang diciptakan oleh negara. Pada masa Orde Baru, hal ini tampak jelas pada pemberlakukan apa yang disebut “Hubungan Industrial Pancasila” dan penanaman nilai bahwa protes dan pemogokan tidak sesuai dengan “jati diri” bangsa. Pada masa reformasi seperti sekarang ini, walaupun protes dan pemogokan sudah diperbolehkan dan bahkan dilindungi oleh Undang-Undang, hegemoni ini masih berlangsung. Kesadaran sistemik terhadap kapitalisme di kalangan buruh pun belum tercipta. Protes dan pemogokan masih terbatas pada hal normatif, seperti perbaikan tingkat upah dan fasilitas kerja.

Berbagai faktor di atas telah membuat kaum buruh di Indonesia tak pernah bisa mencapai kesadaran kelas. Kalaupun ada, kesadaran itu hanya dimiliki oleh segelintir orang (elit buruh atau para aktivis yang beraliran kiri), belum nejadi kesadaran massa seperti yang dicita-citakan Marx. Alhasil, kelas tak kunjung tercipta dan pertarungan kelas tak kunjung terjadi.[9]

LINK BY: KOMPASIANA

Kapitalisme




1. PENDAHULUAN

Era sekarang ini dapat dikatakan sebagai era kapitalisme. Tidak ada satupun sudut muka bumi ini yang terbebas dari pengaruh kapitalisme. Mulai dari pengaturan negara, pengaturan ekonomi, pengaturan sosial, pengaturan hukum, pengaturan pendidikan, sampai kepada seonggok mainan yang ada dalam genggaman anak kecil, di sebuah sudut rumah yang mungil, yang berada di desa yang terpencil, di sebuah negara yang terkucil, semuanya tidak luput dari kapitalisme. Barangkali itulah kalimat sederhana untuk mewakili judul tulisan ini, hegemoni kapitalisme! Sangat dahsyat memang.

Menyebut kata kapitalisme memang terlalu mudah. Namun demikian, melemparkan seabreg warna-warni yang menghiasi permukaan bumi ini kepada kapitalisme, tentu bukan persoalan yang mudah. Apalagi kemudian melemparkan segenap persoalan ummat manusia yang sudah bergunung-gunung kepada “tong sampah” kapitalisme, tentu lebih berat lagi. Jika tidak tepat, salah-salah akan dituduh melemparkan suatu fitnah yang keji kepada “makhluq” kapitalisme tersebut.

Namun demikian, terlepas sulit ataupun mudahnya urusan “tuduh-menuduh” tersebut, jalan pintas yang paling mudah tentu saja harus dikembalikan terlebih dahulu kepada “sosok” kapitalisme itu sendiri. Jenis “binatang” apakah kapitalisme itu? Jika semuanya sudah jelas barulah kita menapak kepada masalah tuduh-menuduh seperti di atas. Satu pertanyaan besar yang ingin dijawab dalam tulisan ini, benarkah telah terjadi hegemoni kapitalisme terhadap kehidupan ummat manusia di dunia ini? Kalau memang benar, bagaimana jalan ceritanya, sehingga kapitalisme bisa melangsungkan proses hegemoninya?

Tulisan ini akan dibagi ke dalam 5 sub bab. Sub bab yang pertama adalah pendahuluan, isinya sebagaimana telah kita baca dan telah kita lewati bersama. Sub bab kedua akan membahas secara agak mendalam tentang apa yang disebut dengan kapitalisme itu. Dalam sub bab ini diharapkan pembaca sudah tidak mengalami bias lagi ketika kata kapitalisme disebut.

Sub bab yang ketiga akan membahas bagaimana proses hegemoni kapitalisme dunia dapat berlangsung. Termasuk juga bagaimana hegemoni kapitalisme yang telah merasuk ke Indonesia. Sub bab yang keempat akan membahas secara khusus bagaimana proses hegemoni kapitalisme dalam bidang ekonomi. Dalam sub bab ini akan dibahas, mengapa ekonomi kapitalisme yang sejak awal kelahirannya telah memberikan janji-janji indah yang berkaitan dengan perekonomian yang adil dan akan membawa kepada kesejahteraan bagi segenap manusia di muka bumi ini, tiba-tiba berubah menjadi penjajah raksasa yang siap melahap siapapun mangsa yang ada dihadapannya. Sub bab terakhir yaitu kelima adalah penutup. Dalam penutup ini akan diberikan kesimpulan dari keseluruhan tulisan. Selamat membaca!

2. KAPITALISME

Kapitalisme dalam perbincangan umum senantiasa hanya dikaitkan dengan salah satu dari faham atau mazhab ekonomi. Banyak yang kurang memahami, keberadaan kapitalisme sesungguhnya lebih luas dan lebih dalam dari sekedar aliran ekonomi tertentu tersebut. Memahami kerangka utuh dari faham kapitalisme memang tidaklah mudah, sebab faham ini tidak lahir dari sumber pemikiran yang satu. Atau lebih tegasnya, faham tidak lahir dari satu tokoh sentral tertentu, sebagaimana yang ada dalam faham sosialisme/komunisme, yang dengan mudah dapat langsung diidentikkan dengan pemikiran-pemikiran Karl Marx.

Perjalan sejarah kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari bumi Eropa, tempat lahir dan berkembangnya kapitalisme. Tahun 1648 (tahun tercapainya perjanjian Westphalia) dipandang sebagai tahun lahirnya sistem negara modern. Perjanjian itu mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (antara Katholik dan Protestan di Eropa) dan menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katholik Roma (Papp, 1988). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itu aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja (yang merupakan wakil Tuhan), dengan anggapan bahwa negara itu sendiri yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya, sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya, sementara Tuhan (agama) diakui keberadaannya tetapi dibatasi hanya di gereja saja (hubungan manusia dengan Tuhannya).

Selanjutnya terdapat tiga perkembangan penting yang mempengaruhi perubahan situasi di Eropa, yaitu: revolusi industri (1760 - 1860), revolusi Perancis (1775 - 1799) dan tingkat melek huruf (literasi) (abad ke-19). Ketiga peristiwa tersebut telah mendorong munculnya keterlibatan rakyat (di luar raja dan kaum bangsawan) di dalam politik (pengaturan urusan rakyat) (Robert & Lovecy, 1984).

Revolusi industri telah memunculkan kelas menengah yang mempunyai kekuatan ekonomi, sehingga dengan kekuatannya tersebut mereka menuntut derajat kekuatan politik yang berimbang. Revolusi Perancis telah mendorong tuntutan akan nasionalisme (ide bahwa rakyat bisa memerintah dirinya sendiri, bukan diperintah oleh yang lain), libelarisme (ide bahwa otoritas politik harus disahkan lebih dahulu secara konsensus dan tidak secara turun temurun, serta dibatasi oleh hukum dan konstitusi) dan equalitas (ide bahwa partisipasi politik tidak hanya di tingkat elit aristokrat saja, tetapi terbuka untuk semua penduduk). Sedangkan meningkatnya derajat melek huruf di kalangan rakyat telah menyebabkan mereka dapat membaca peristiwa-peristiwa dan pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa dan sekaligus mempengaruhi mereka.

Kemajuan sosial (social progress), yang berupa sejumlah perbaikan kondisi ekonomi, intelektualitas, sosial budaya dan politik yang terjadi di Eropa Barat antara abad ke-18 sampai abad ke-19, dapat dilihat sebagai penyebab berkembangnya demokrasi, di mana demokrasi membatasi kesewenangan dan mendorong manusia menjadi lebih sempurna dan adil dalam mengatur kehidupannya (Palma, 1990) . Dari sini kita bisa menyebut bahwa pada abad ke-19 telah terjadi transisi politik di Eropa Barat dari bentuk otokrasi dinasti tradisional menjadi demokrasi liberal modern.

Ide pemisahan agama dari negara tersebut dianggap sebagi jalan kompromi antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka (yang mengatasnamakan agama) dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Dengan demikian ide sekularisme ini sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi juga tidak menjadikannya berperan dalam kehidupan. Yang mereka lakukan tidak lain adalah, memisahkan agama dari kehidupan bernegara (An-Nabhani, 1953a).

Atas landasan pandangan hidup seperti di atas, mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak untuk membuat peraturan hidupnya. Mereka juga mengharuskan pula untuk mempertahankan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan beragama, kebebasan berpendapat (berbicara), kebebasan individu (pribadi) dan kebebasan kepemilikan (hak milik). Dari kebebasan hak kepemilikan itulah dihasilkan sistem ekonomi kapitalisme, yang merupakan hal yang paling menonjol pada ideologi ini. Oleh karena itu ideologi ini dinamakan kapitalisme, sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dalam ideologi ini (An-Nabhani, 1953a).

Oleh karena itu, kapitalisme saat ini sudah tidak bisa disebut sebagai hanya sebuah "isme" biasa atau sebuah pemikiran filsafat belaka, bahkan tidak bisa juga hanya dikatakan sebagai sebuah teori ekonomi. Akan tetapi kapitalisme telah menjadi sebuah ideologi dunia yang mencengkeram dan mengatur semua sendi-sendi kehidupan manusia secara menyeluruh dan sistemik (Thurow, 1996).

Semangat sekularisme ternyata telah mendorong munculnya libelarisme dalam berfikir di segala bidang. Kaum intelektual Barat ternyata ingin sepenuhnya membuang segala sesuatu yang berbau doktrin agama. Mereka sepenuhnya ingin mengembalikan segala sesuatunya kepada kekuatan akal manusia (Altwajri,1997).

Demikianlah, dalam ideologi kapitalisme, sistem ini dibangun dari sebuah pandangan dasar sekularisme, yang maknanya adalah: pemisahan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dari agama (An-Nabhani, 1953a). Paham ini intinya memandang bahwa manusia hidup di dunia ini bebas untuk mengatur kehidupannya dan tidak boleh dicampuri oleh dan dengan urusan agama. Agama hanya boleh hidup di gereja atau di masjid-masjid saja. Manusia diharuskan untuk selalu mempertahankan kebebasannya, yang terdiri dari:

(1) Kebebasan beragama (hurriyatul-‘aqidah). Dari pandangan ini selanjutnya melahirkan faham pluralisme dalam bidang agama.

(2) Kebebasan berpendapat (hurriyatur-ra’yi). Dari pandangan ini selanjutnya melahirkan faham demokrasi dalam bidang politik.

(3) Kebebasan pribadi (hurriyatusy-syakhsiyah). Dari pandangan ini selanjutnya melahirkan faham individualisme dan hedonisme dalam bidang sosial.

(4) Kebebasan hak milik (hurriyatul-milkiyah). Dari pandangan ini selanjutnya melahirkan faham kapitalisme dalam bidang ekonomi.

Empat pilar faham di atas merupakan “soko guru” dari ajaran ideologi kapitalisme. Empat pilar ini sekaligus dapat digunakan untuk memberikan penilaian, apakah suatu negara sudah masuk dalam “perangkap” kapitalisme sepenuhnya, sebagian, separo, atau belum sama sekali. Dari empat pilar ini pula, peradaban manusia maupun ilmu pengetahuan dapat berkembang secara terus-menerus dan bahkan telah melahirkan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang banyak sekali ragamnya (Altwajri,1997).

3. HEGEMONI KAPITALISME

Jika kita telah memahami bahwa kapitalisme merupakan sebuah ideologi yang lengkap dan utuh, yang dapat mengangkangi segenap aspek kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara, maka dari sudut inilah kita mampu memotret wajah masyarakat dunia maupun di bumi Indonesia.

Kemenangan besar yang telah diraih oleh barat untuk menancapkan hegemoninya di seluruh penjuru dunia berawal dari kesuksesan Eropa dalam melancarkan revolusinya. Keberhasilan Revolusi Perancis merupakan tonggak Barat untuk menyebarkan “virus revolusioner”nya ke seluruh penjuru dunia. Kesuksesan meruntuhkan sistem theokrasi, kemudian menggantinya dengan sistem demokrasi telah menyebarkan “darah segar” bagi para pejuang kemerdekaan untuk membebaskan negerinya dari belenggu penjajahan.

Hasrat para pejuang kemerdekaan seakan mendapat suntikan inspirasi yang besar, bahwa kemenangan, kebebasan, kemerdekaan, kejayaan dan kemuliaan hanya akan didapatkan jika mereka mampu melepaskan pemikirannya dari belenggu agama. Sebab, agama telah dianggap sebagai biang dari segala malapetaka yang telah menjerat mereka. Agama hanya identik dengan kejumudan, kemandegan, kepicikan, kekolotan dan fanatisme. Doktrin agama adalah doktrin yang membelenggu manusia, doktrin yang menjijikkan, yang harus segera dibuang dari pemikiran manusia. Kalaupun masih ada yang harus disisakan, tempatnya hanya di wilayah gereja atau masjid (An-Nabhani, 1953a). Agama hanya difungsikan sekedar untuk mengingatkan akan pentingnya untuk berbuat baik dan pentingnya untuk menyembah Tuhannya dalam rangka mengurangi tekanan psikologis, akibat stress yang mungkin dideritanya.

Terjadinya pergeseran orientasi perjuangan inilah yang membuat para penjajah Barat bersedia “merelakan” tanah jajahannya dilepaskan satu per satu. Dengan satu jaminan tentu saja, bahwa kemerdekaan hanya akan diberikan jika dasar negara yang akan mereka bangun benar-benar menganut faham sekularisme, yaitu mengharamkan adanya campur tangan agama dalam mengatur seluruh urusan negaranya. Agama hanya boleh mengatur urusan individu-individu saja dan merupakan masalah yang paling privasi dalam kehidupannya.

Dari titik inilah sejarah telah membuktikan, bahwa Barat telah sukses menancapkan hegemoninya, walaupun secara politik mereka sudah tidak lagi bercokol di tanah jajahannya. Sebab, apabila seluruh bangsa-bangsa yang telah dimerdekakan mau menerapkan prinsip sekularisme dalam membangun negaranya, maka seluruh faham-faham yang terpancar dari sekularisme akan langsung menyebar dengan leluasa untuk menjadi pengatur masyarakat dan negaranya. Mulai dari penerapan politik demokrasi, ekonomi kapitalisme, liberalisme individu (HAM) sampai kepada faham pluralisme dalam beragama.

Saat ini wajah dunia, termasuk wajah Indonesia hampir tidak ada yang luput dari cengkeraman ideologi ini. Terlebih lagi setelah ideologi pesaingnya telah runtuh dari dunia “persilatan” ini, yaitu ideologi sosialisme/komunisme. Awal abad 21 ini dapat dikatakan eranya kapitalisme dunia. Duka dan derita akibat kejamnya hegemoni kapitalisme dunia telah dirasakan oleh umat manusia di seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia. Yang menjadi pertanyaan tentu saja adalah, mengapa ideologi kapitalisme yang secara konseptual nampak indah dan sangat inspiratif bagi penganutnya, tiba-tiba telah berubah wujud menjadi ideologi yang sangat kejam dan sangat dzolim? Marilah kita ikuti jawabannya pada sub bab berikut ini.

4. HEGEMONI KAPITALISME DI BIDANG EKONOMI

Sebagaimana telah disinggung di atas, pilar utama dari ideologi kapitalisme adalah ekonomi kapitalisme, sehingga dari pilar inilah nama ideologi ini diambil. Selanjutnya, jika kita hendak menyebut induk dari semua ajaran ekonomi kapialisme, maka semua pakar ekonomi dunia tentu akan sepakat dengan satu nama, yaitu Adam Smith! Oleh karena itu, jika kita mau membuka kembali lembaran-lembaran buku yang pernah ditulis oleh Adam Smith yang berjudul The Wealth of Nations yang terbit tahun 1776, maka kita tentu akan sejenak terpesona sekaligus manggut-manggut dengan ide cemerlangnya Adam Smith tersebut.

Tulisan Adam Smith dapat dikatakan sebagai ide segar, ide besar, sekaligus ide yang mampu menggebrak segenap aliran pemikiran ekonomi yang berkembang pada saat itu. Walaupun jika diukur dari bobot idenya sebenarnya sangatlah sederhana dan tidak terlalu kompleks, namun pemikiran Adam Smith dapat menjadi pencerah bagi perkembangan pemikiran ekonomi pada waktu itu. Sebab, pemikiran Adam Smith berani menabrak sekaligus dapat berfungsi sebagai ide alternatif terhadap aliran ekonomi merkantilisme yang banyak dianut dan diterapkan pada waktu itu (Deliarnov, 1997).

Dengan kekuatan logika-logika sederhananya, Smith mampu meyakinkan dunia, bahwa tidak akan lama lagi tatanan ekonomi yang berkeadilan, yang akan menyejahterakan seluruh lapisan manusia akan segera terwujud. Si “tangan ajaib” (the invisible hands) akan mengatur semuanya. Dengan “tangan sakti” itu pula, ekonomi dijamin akan dapat tumbuh dengan sangat mengesankan. Yang penting menurut Smith, negara nggak usah repot. Negara tidak perlu ikut campur tangan dalam urusan ekonomi. Mekanisme pasar bebas akan dapat menyelesaikan semuanya (Deliarnov, 1997). Apakah ramuan Smith ini benar-benar mujarab?

Sejarah telah mencatat, apa yang diomongkan Smith memang bukan pepesan kosong. Ekonomi negara-negara Barat selama periode 150-an tahun telah mencatat pertumbuhan ekonomi dengan sangat pesat. Pertumbuhan ekonomi yang pesat tersebut juga diiringi dengan tingkat harga-harga yang bergerak relatif stabil (Boediono, 1999). Sebuah prestasi yang sangat menyilaukan.

Nah, tibalah saatnya pada pertanyaan utama kita, bagaimana jalan ceritanya sebuah sistem ekonomi yang dulunya berwajah manis ini, tiba-tiba bisa berubah menjadi “penjajah ekonomi” kelas wahid di atas muka bumi ini? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, kita harus mau merunut kembali perjalanan kesuksesan ekonomi, sebagaimana telah disinggung di atas.

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, ketika faham ekonomi liberalisme (kapitalisme) mulai menancapkan kukunya di Eropa, ekonomi negara-negara di kawasan itu mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Dalam jangka waktu kurang lebih dua abad, Eropa telah menjadi kekuatan baru ekonomi dunia. Hal itu ditandai dengan mulai bermunculannya raksasa-raksasa industri yang mampu memproduksi segala kebutuhan barang dan jasa manusia dengan tingkat output per satuan waktu yang sangat tinggi (Deliarnov, 1997).

Kemunculan industri-industri besar di Eropa inilah, awal cerita dimulai. Menurut hukum ekonomi, kemunculan industri-industri besar akan memberikan dampak simultan yang sangat panjang dan luas. Efek domino yang ditimbulkan akan memaksa berbagai faktor yang lain harus terseret di dalamnya, sebagai sebuah konsekuensi logis. Dampak simultan tersebut di antaranya adalah (Triono, 2006):

(1) Kebutuhan bahan baku yang besar

Dalam dunia industri, kebutuhan akan sumber-sumber bahan baku tidak pernah mengenal kata berhenti. Padahal kenyataannya, Eropa bukanlah negeri-negeri yang kaya akan sumber daya alam (SDA). Sementara itu, pabrik-pabrik mereka tetap harus berputar dan gaji-gaji beuruh tetap harus dibayarkan. Di sisi lain, ajaran ekonomi kapitalisme telah memberi petunjuk, bahwa jika perekonomi negara ingin terus maju, maka jurus yang ada hanya satu, yaitu pertumbuhan ekonomi harus terus digenjot. Tidak boleh ada kata berhenti. Ukuran kemajuan dan kesejahteraan ekonomi suatu negara akan dilihat dari sejauh mana negara tersebut dapat terus meningkatkan pertumbuhan ekonominya (Sukirno, 2002).

Dari titik inilah, sejarah perjalanan penjajahan negeri-negeri Eropa ke negeri-negeri yang kaya akan SDA mulai berlangsung. Negara-negara yang menjadi incaran keserakahan mereka tentu saja adalah negara-negara yang kaya akan sumber daya alam. Negara-negara tersebut tidak lain adalah negara yang ada di kawasan benua Afrika dan Asia, termasuk di dalamnya adalah Indonesia.

(2) Kebutuhan akan pasar yang besar

Industrialisasi selain membutuhkan bahan baku yang besar, akan membutuhkan pasar yang besar pula. Kenyataannya, negara-negara industri maju hanya memiliki jumlah penduduk 25% dari seluruh penduduk dunia. Sementara itu, produk industri mereka mampu untuk mencukupi 75% dari seluruh penduduk dunia. Jika produk-produk mereka hanya diperuntukkan bagi penduduknya saja, maka masih ada 50% produk mereka yang tersisa. Pertanyaannya, akan dikemanakan produk sisa tersebut? Tidak bisa tidak, produk lebihan mereka harus dipasarkan ke luar kawasan negara-negara mereka.

Dari sinilah kita akan dapat memahami kelihaian mereka. Sumber daya alam yang telah mereka keruk, baik yang mereka ambil dengan cara paksa ataupun yang mereka beli dengan harga sangat murah, kemudian mereka sulap melalui kehebatan industri mereka menjadi barang-barang jadi yang sangat canggih dan hebat di mata negara-negara sasaran mereka. Cerita selanjutnya mudah ditebak, barang-barang tersebut mereka pasarkan kembali ke negara asal bahan baku tersebut diambil dan akan menjadi barang yang laris manis terjual, tentu saja dengan harga yang sudah berlipat-lipat.

(3) Kebutuhan akan pasar bebas dunia

Namun demikian, perjalanan hegemoni ekonomi mereka tetap tidak akan dapat berlangsung terus secara aman. Gangguan-gangguan kecil maupun besar tetap akan muncul. Seiring dengan meluasnya hegemoni mereka, negara-negara pasar mereka, cepat atau lambat tentu saja akan ikut menggeliat. Negara “jajahan” inipun mulai terpengaruh dan mulai ikut bermimpi ingin menjadi negara yang memiliki industri yang maju, sebagaimana negara penjajahnya. Dari titik inilah masalah akan muncul.

Jika negara-negara jajahan sudah mulai membangun industri-industri baru, sebagaimana industri yang ada di negara maju, maka akan segera muncul berbagai kepentingan yang saling bertabrakan. Kepentingan tersebut tidak lain adalah kepentingan pasar. Akan mulai terjadi perebutan pasar yang sama. Padahal teori ekonomi sudah terlanjur mengajarkan (teori perdagangan internasional), jika suatu negara ingin menyelamatkan industri domestiknya, maka negara tersebut harus melakukan proteksi terhadap masuknya barang dan jasa dari negara lain, yaitu dengan mengenakan tarif dan kuota (Samuelson & Nordhaus, 1999).

Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah, bagaimana caranya agar mereka tetap dapat memasuki pasar-pasar di negara-negara jajahannya tersebut? Adanya politik proteksionisme di berbagai negara di dunia ini jelas akan mengancam keberlangsungan industri mereka. Oleh karena itu, negara-negara industri maju ini harus mengembangkan strategi yang lebih jitu. Strategi yang mereka lakukan tidak lain adalah dengan menghapuskan segala bentuk proteksionisme tersebut. Dengan kata lain, mereka harus melakukan penghapusan segala bentuk hambatan tarif dan kuota yang ada berbagai negara yang akan mereka tuju.

Nah, proyek besar untuk merealisasikan gagasan itu akhirnya berhasil mereka wujudkan, yaitu dengan cara membentuk kawasan pasar perdagangan bebas dunia melalui WTO (World Trade Organization) dan GATT (General Agreement on Tariff and Trade)-nya. Selanjutnya wajah ekonomi dunia akan terlihat mulai berangsur berubah. Secara pelan namun pasti, di dunia ini sudah hampir tidak ada lagi negara-negara yang tidak bisa dimasuki oleh produk-produk industri mereka.

Apakah industri mereka akan menang dalam percaturan pasar bebas dunia? Sebuah pertanyaan yang sangat mudah dijawab. Hampir tidak pernah ada ceritanya, sebuah industri besar, maju dan sudah berpengalaman berpuluh-puluh tahun akan dapat dikalahkan persaingannya oleh sebuah industri yang baru kemarin sore terlahir. Ibarat pertandingan tinju tanpa kelas, kelas berat lawan kelas nyamuk. Siapa yang akan memenangkannya?

(4) Kebutuhan untuk terus membesar

Dalam dunia ekonomi kapitalisme, tidak pernah dikenal kata “cukup”. Cukup berarti gagal. Yang ada dalam kamusnya hanyalah tumbuh, tumbuh dan terus tumbuh. Sementara itu di sisi lain, ancaman dari industri-industri negara jajahan tetap saja terus mengintai. Fenomena kemunculan negara-negara industri baru, dengan julukan yang cukup sangar, seperti: “macan-macan Asia”, tetap membawa kerisauan sendiri bagi negara industri maju. Cepat atau lambat, industri-industri dari negara jajahan akan menjadi tuan-tuan di negerinya sendiri.

Oleh karena itu, berbagai strategi baru harus senantiasa difikirkan. Secara hitungan ekonomi, bersaing di pasar negara lain tetap tidak efisien. Kendala jarak, waktu, masalah tansportasi, bahan baku, tenaga kerja, dsb. tetap merupakan masalah tersendiri yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dengan demikian harus ada solusi yang lebih jitu. Apakah itu?

Solusi yang mereka lakukan ternyata sangat luar biasa. Caranya adalah dengan membuka anak-anak perusahaan di negara jajahannya. Dengan demikian, kebesaran industri yang telah mereka miliki tidak boleh berhenti di negeri mereka sendiri. Perusahaan yang mereka miliki harus melakukan ekspansi ke negara-negara jajahannya. Dari sinilah kemudian muncul sebuah istilah yang dikenal dengan perusahaan multi nasional (Multi National Coorporations (MNC)) (Purnama, 2002). Keberadaan MNC di negara-negara “jajahan” mereka, paling tidak akan memiliki 3 keuntungan sekaligus, yaitu: terpenuhinya sumber bahan baku yang murah dan melimpah, tersedianya tenaga kerja yang murah dan tersajinya pasar yang luas, tanpa harus terkendala dengan persoalan jarak waktu dan transportasi (Triono, 2006).

Untuk memuluskan jalannya, mereka dapat menggunakan beberapa strategi. Paling tidak ada dua strategi yang senantiasa mereka gunakan, yaitu (Triono, 2006):

Strategi pertama adalah dengan menggunakan kedok penanaman modal asing (PMA). Dengan bentuk kerjasama pengembangan PMA ini akan mudah bagi negara-negara yang dituju untuk menerimanya, karena akan dianggap sebagai bentuk bantuan guna memajukan industri di negara yang bersangkutan. Dengan adanya PMA ini, mereka menjanjikan bahwa pertumbuhan ekonomi negara tersebut akan segera meningkat dan sekaligus juga akan mengurangi jumlah pengangguran.

Strategi kedua adalah dengan mendorong perusahaan-perusahaan yang sudah ada di negara yang dituju untuk melakukan go international, dengan maksud agar menjadi perusahaan terbuka untuk dapat “dibeli” oleh siapapun termasuk dari negara manapun. Strategi ini dianggap jauh lebih mudah dan murah daripada strategi sebelumnya. Strategi kedua ini juga berlaku untuk perusahaan-perusahaan milik negara, yang di Indonesia dikenal dengan BUMN. Untuk perusahaan milik negara ini mereka akan mendorong untuk melakukan privatisasi dan divestasi, dengan alasan agar perusahaan tersebut menjadi lebih sehat dan lebih efisien.

(5) Kebutuhan untuk selalu menang

Politik ekonomi kapitalisme adalah politik ekonomi persaingan bebas. Konsekuensi dari ekonomi persaingan bebas adalah, setiap negara bebas untuk memasarkan berbagai produknya ke semua negara yang ada di dunia ini secara bebas tanpa adanya penghalang sama sekali. Konsekuensi yang lain yang tidak boleh dilupakan adalah, negaranya juga harus membuka diri sebebas-bebasnya untuk dimasuki berbagai produk dari berbagai negara di seluruh penjuru dunia ini. Itulah prisip persaingan bebas dalam ekonomi kapitalisme. Sebuah prinsip yang senantiasa mereka agung-agungkan sekaligus mereka dengung-dengungkan. Yang menjadi pertanyaan adalah, benarkah mereka berani bertarung secara bebas di gelanggang ekonomi dunia ini? Sekali lagi, beranikah mereka memasuki sebuah pertarungan yang bebas dengan permainan yang sebebas-bebasnya? Kira-kira apa jawabannya?

Jawabnya tentu saja adalah: tidak! Sesungguhnya mereka adalah negara-negara yang sangat paranoid, negara penakut sekaligus pengecut. Di mulutnya saja mereka berani berkoar-koar untuk mewujudkan perdagangan bebas dunia, namun kenyataannya mereka menyimpan ketakutan yang luar biasa. Bagi negara-negara kapitalis, persaingan yang bebas tetap akan semakin mengkhawatirkan. Apalagi jika pesaing-pesaingnya semakin berpotensi untuk menjadi negara industri yang maju dan makin kuat. Oleh karena itu, mereka harus tetap memikirkan bagaimana caranya agar persaingan senantiasa mereka menangkan, walaupun tetap dengan kedok persaingan bebas dunia?

Yang mereka inginkan tentu saja adalah bagaimana caranya agar mereka tetap bisa dengan begitu leluasanya memasarkan berbagai produknya ke berbagai negara di dunia ini, tanpa ada halangan apa-apa, dan tentu saja tetap memenangkan persaingan. Namun untuk membuka pasarnya sendiri? Ya, nanti dulu-lah.

Oleh karena itu, mereka telah menetapkan berbagai strategi jitu, agar persaingan selalu mereka menangkan, mereka tidak perlu khawatir dengan pasar dalam negerinya, walaupun tetap mengatasnamakan pasar persaingan bebas dunia. Ternyata strategi yang dihasilkan sangat banyak dan berlapis-lapis. Paling tidak ada 7 lapis strategi yang mereka buat agar bisa memberikan jaminan, bahwa persaingan akan tetap mereka menangkan, baik di luar negeri maupun di luar negeri. Lapis-lapis “proteksi” tersebut adalah:

Pertama, Sertifikasi Perusahaan

Untuk menyelamatkan sekaligus memenangkan pertarungan globalnya, negara-negara adidaya ekonomi telah menyiapkan seperangkat persyaratan bagi industri-industri yang ingin memasuki pasar global, terutama untuk “memproteksi” barang maupun jasa yang akan memasuki negara-negara mereka. Mereka akan mencegatnya dengan berbagai persyaratan yang mereka buat sendiri, dengan berbagai macam sebutan. Salah satu persyaratan yang sangat populer adalah sertifikasi bagi perusahaan yang ingin disebut perusahaan “kelas internasional”. Contohnya adalah adanya sertifikat ISO 9000, ISO 14000 dsb.

Untuk dapat memperoleh sertifikat tersebut telah ditentukan persyaratan standar mutu maupun standar manajemen yang sangat berat. Prosedur untuk mendapatkannya-pun tidak dibuat sederhana. Perusahaan yang berminat harus mengajukan ke negara mereka, dengan proses yang berbelit-belit, tentu saja dengan biaya yang tidak murah. Sesuatu yang masih terlalu jauh diangan-angan bagi industri-industri dari negara-negara berkembang, yang kebanyakan kelasnya adalah industri kelas ‘tempe’.

Berbeda dengan perusahaan-perusahaan di negeri mereka sendiri. Perusahan mereka akan begitu mudahnya memasarkan produknya di negeri mereka sendiri tanpa harus bersusah payah menggunakan sertifikat tersebut. Dengan atau tanpa sertifikasi, mereka akan tetap menjadi tuan di negerinya sendiri. Sedangkan untuk dipasarkan ke negara jajahan, tentunya dengan atau tanpa sertifikat tersebut, produk mereka akan dengan leluasa dapat memasuki pasarnya, mengingat kondisi konsumen di negeri jajahan yang tidak pernah peduli lagi dengan segala bentuk sertifikat-sertifikatan atau yang semacamnya. Sudah terlanjur terbentuk suatu opini di negeri yang terjajah, yaitu: setiap produk buatan luar negeri pasti bagus dan lebih bagus dari buatan dalam negeri.

Kedua, Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

Dengan sangat liciknya, negara maju ternyata telah membuat ketentuan lapis kedua dengan sesuatu yang semakin tidak masuk akal, yaitu adanya hak kekayaan intelektual (HAKI). Mereka membuat ketentuan-ketentuan bagi berlakunya apa yang mereka sebut sebagai hak paten atas suatu produk atauhak intelektual atas suatu temuan ilmiah. Sebagaimana yang berlaku bagi sertifikasi di atas, ketentuan-ketentuan untuk pematenan produk-pun telah dibuat sedemikian rupa sehingga benar-benar menjadi “barang mewah” bagi para pengusaha-pengusaha kelas teri sebagaimana yang ada di negara-negara berkembang.

Adanya ketentuan yang telah mereka tetapkan, yang telah disertai dengan berbagai perangkat hukum yang menaungi, terutama adanya sangsi denda (perdata) maupun pidana yang sangat berat bagi pelanggarnya, akan semakin menciutkan nyali mereka yang ingin berkiprah dalam arena pasar global. Hal itu telah membuat para pengusaha maupun ilmuwan barat semakin rakus dan agresif untuk berlomba-lomba mematenkan berbagai produk maupun temuan, baik yang ditemukan sendiri maupun produk-produk khas dari negara jajahannya, akan membuat arena persaingan global semakin sempit, namun semakin leluasa untuk mereka.

Contoh yang sederhana adalah apa yang telah menimpa berbagai produk khas Indonesia. Ternyata sudah banyak produk khas Indonesia yang telah dipatenkan oleh ilmuwan atau pengusaha dari Jepang ataupun dari Amerika. Misalnya adalah produk tempe. Produk tempe ternyata sudah dipatenkan oleh mereka. Oleh karena itu, jika aturan hak paten itu benar-benar secara ketat diterapkan, maka kiamatlah bagi pengusaha tempe Indonesia. Jangankan untuk memasuki pasar ekspor global, untuk memproduksi tempe bagi pasar domestiknya-pun tidak dapat dilakukan, kecuali harus dengan seijin dan dengan membayar sejumlah royalty kepada pihak yang telah mematenkan produk tempe tersebut. Jika ijin dan royalty tidak diindahkan, maka denda yang sangat besar akan dapat menimpa pengusaha tempe Indonesia.

Ketiga, Mata Uang Kertas (Fiat Money)

Dua lapis di atas bagi mereka tetaplah belum cukup. Mereka tetap masih khawatir akan kalah dalam persaingan globalnya. Oleh karena itu, mereka masih memiliki perangkat sistem sangat lebih canggih, yang menurut hitungan akal sehat, perangkat ini tidak mungkin tertembus dan terkalahkan. Perangkat yang super canggih tersebut tidak lain adalah sistem moneter dengan basis utamanya yaitu uang kertas (fiat money).

Mengapa mata uang kertas dapat menjadi perangkat yang canggih bagi kepentingan mereka? Kita harus memahami bahwa seluruh uang kertas yang sekarang ini beredar tidak memiliki jaminan apa-apa, kecuali dengan mata uang kertas yang dianggap “kuat”, seperti Dolar AS, Euro ataupun Yen. Padahal sesungguhnya mata uang kuat inipun dicetak tanpa memiliki jaminan apa-apa. Nah, dapat dibayangkan, jika uang kertas dapat dicetak tanpa adaback upnya sama sekali. Padahal uang kuat inilah yang merupakan mata uang yang laku bagi perdagangan dunia.

Oleh karena itu, tidaklah sulit untuk dibayangkan, jika hanya dengan mata uang kertas ini mereka akan dapat mengeruk berbagai keuntungan dan akan senantiasa memenangkan pertandingan. Paling tidak ada 2 keuntungan besar yang dapat selalu mereka peroleh:

(1) , keuntugan dari seignorage. Sebagai contoh, biaya produksi untuk mencetak satu lembar uang 1 dolar AS hanya sekitar empat sen dolar AS. Dalam hitungan yang sederhana, seignorage yang diperoleh dari pencetakan uang 1 dolar AS tersebut adalah 96 sen dolar AS per lembarnya. Padahal dengan biaya yang sama mereka dapat mencetak uang 100 dolar AS (Hamidi, 2007). Berapa keuntungan yang bakal mereka peroleh? Sangat fantastik!

Selanjutnya silahkan dibayangkan, dimana letak keadilannya jika untuk membeli berbagai kekayaan sumber daya alam (SDA) yang sangat bernilai harganya, termasuk untuk membayar kerja keras bermilyar-milyar manusia di muka bumi ini, hanya ditukar dengan lembaran-lembaran kertas yang hampir tidak memiliki nilai sama sekali? Fenomena inilah yang kemudian dianggap sebagai sumber utama dari terjadinya pemiskinan dan terjadinya berbagai tragedi kelaparan yang ada di negara-negara yang sedang berkembang di dunia ini. Penyebabnya tidak lain adalah diakibat dari pengerukan kekayaan dunia oleh mata uang kertas dari negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, maupun negara-negara Eropa (Hifzur-Rab, 2002).

(2) , yaitu adanya sistem kurs nilai tukar mata uang yang harus mengambang bebas. Ketentuan ini tentu saja telah sesuai dengan anjuran dan ajaran ekonomi kapitalisme. Sistem kurs yang mengambang bebas akan menyebabkan nilai mata uang di dunia ini tidak ada yang stabil. Nilai mata uang yang hanya disandarkan pada mata uang asing, khususnya Dollar AS, tentu sangat rentan terhadap goncangan, baik dalam skala nasional maupun global, baik berkaitan dengan persoalan ekonomi maupun non ekonomi.

Nilai mata uang yang mudah berubah tersebut akan sangat berpengaruh terhadap segala proses transaksi perdagangan, khususnya ekspor dan impor. Jika volume ekspor suatu negara sedang bagus dan tengah mengalami peningkatan, secara cepat akan mudah anjlok bersamaan dengan merosotnya nilai mata uang Dolar AS, demikian juga sebaliknya. Jika kebutuhan industri dalam negeri sangat tergantung pada komponen impor, maka secara mendadak industri tersebut bisa langsung gulung tikar, apabila secara tiba-tiba nilai mata uangnya mengalami kemerosotan. Demikian seterusnya.

Dengan tidak stabilnya nilai mata uang, maka dalam era kompetisi global yang sangat liberal ini, bukan tidak mungkin “permainan” nilai kurs mata uang dapat digunakan sebagai senjata yang kasad mata untuk menhancurkan industri-industri lawan yang dianggap akan menjadi pesaing yang membahayakan. Terlebih lagi bagi nilai mata uang yang sangat lemah seperti rupiah, tentu akan sangat rentan terhadap goncangan dibanding mata uang lainnya di dunia ini.

Keempat, Utang Luar Negeri (ULN)

Walaupun sepintas ULN nampak menolong, sesungguhnya sangat mematikan (Perkins, 2005). Sebab, skema ULN yang mereka berikan telah ditopang oleh sistem moneter dunia yang dapat dikendalikan oleh IMF. Selain ULN mengandung bunga (baca: riba), rapuhnya sistem moneter dunia (yang sengaja mereka ciptakan) akan memungkinkan ULN tersebut besarnya menjadi berlipat oleh guncangan kurs mata uang yang setiap saat dapat mereka lakukan. Jika utang sudah berlipat-lipat, maka negara tersebut selamanya akan menjadi miskin. Negara yang miskin, bagi mereka bukanlah calon pesaing yang menakutkan.

Sebagi contoh adalah besarnya beban ULN Indonesia yang sudah mencapai 150 miliar US Dollar atau setara 1.350 Triliun rupiah (asumsi kurs 9.000 rupiah per US Dollar) akan senantiasa membebani APBN Indonesia. Padahal kewajiban untuk membayar cicilan ULN tersebut akan kembali kepada rakyat Indonesia sendiri. Untuk dapat menutup cicilan hutang ditambah bunganya, pemasukan yang senantiasa menjadi andalan APBN adalah dari sektor pajak. Jika industri-industri yang ada di negeri ini terbebani pajak yang tinggi, maka akan menimbulkan ekonomi beaya tinggi (high cost economic). Keadaan itu akan berpengaruh terhadap kemampuan industri dalam negeri untuk berkompetisi dalam kancah ekonomi pasar bebas, yang menuntut efifisiensi dan efektifitas tinggi untuk dapat memenangkannya.

Kelima, Ketiadaan Proses Alih Teknologi

Sebagaimana telah disinggung di atas, walaupun nampaknya mereka bermurah hati untuk memberikan PMA di negara-negara “jajahan”nya, sesungguhnya mereka tidak akan pernah melakukan proses alih teknologi. Teknologi inti tetap mereka “sembunyikan”, sedangkan teknologi yang mereka transfer sesungguhnya hanyalah teknologi “kulit” saja atau teknologi yang sudah dianggap kadaluwarsa. Dengan demikian, walaupun di negara-negara “jajahan” sudah banyak berdiri industri besar, sesungguhnya negara tersebut bukan produsen teknologi, akan tetapi tetap konsumen teknologi.

Keenam, Embargo Ekonomi

Strategi ini diperlukan untuk memberi pelajaran bagi negara-negara “jajahan” yang agak “bandel”. Negara yang bandel menurut pandangan mereka adalah negara yang tidak mau menerima skema ULN yang mereka tawarkan. Jika negara tersebut tidak mau menerima ULN dikhawatirkan ekonominya akan membaik dan akan berpotensi menjadi negara industri kuat (Perkins, 2005).

Oleh karena itu, dengan menggunakan seribu satu macam alasan (biasanya dikaitkan dengan isu politik), mereka dapat saja memberikan “hukuman” berupa embargo ekonomi, agar negara tersebut mau kembali untuk tunduk kepada skenario mereka, sehingga akan menjadi negara penghutang yang makin miskin dan melarat.

Ketujuh, Kekuatan Militer

Strategi ini adalah strategi pamungkas. Strategi ini memang dikhususkan bagi negara-negara yang dianggap “super bandel” menurut pandangan mereka. Super bandel berarti negara tersebut sudah terang-terangan menolak untuk tunduk pada skenario mereka, bahkan berani menentangnya. Terhadap negara seperti ini mereka tidak segan-segan untuk menggunakan kekuatan militernya, sebagimana yang terjadi pada Afghanistan dan Iraq, serta calon korban berikutnya seperti Iran dan Suriah (Perkins, 2005).

5. PENUTUP

Demikianlah akhir dari kisah hegemoni yang telah berlangsung di muka bumi ini. Apa yang dahulu disebut sistem ekonomi yang berkeadilan, yang dikenal paling ilmiah, ternyata hanya identik dengan sebuah hukum yang hanya dikenal di dunia binatang, yaitu “hukum rimba”. Mekanisme pasar bebas yang mereka tawarkan kepada dunia sesungguhnya hanya mengembalikan sifat manusia kepada naluri terendahnya, yaitu naluri binatang. Hukum rimba di dalam dunia binatang hanya mengenal satu aturan, yaitu siapa yang kuat, itulah yang menang.

Itulah sesungguhnya yang terjadi pada saat ini. Sistem ekonomi kapitalisme yang diagung-agungkan sebagai sistem ekonomi yang paling berhasil membawa peradaban ummat manusia kepada tahap yang paling tinggi, sesungguhnya hanya dinikmati oleh segelintir negara-negara “penjajah” yang tidak memiliki pekerjaan lain, kecuali menindas dan menindas negara jajahannya. Watak itu, dari jaman kolonialisme sampai abad 21 yang modern ini tetap tidak mengalami perubahan. Kalaupun ada perubahan, mungkin hanya pada satu bentuk, yaitu penjajahan yang sekarang berlangsung jauh lebih canggih dibanding dengan yang dahulu, sehingga bangsa yang dijajah benar-benar tidak merasa bahwa dirinya sedang dijajah. Hanya itu, dan tidak lebih dari itu.[ ]

DAFTAR RUJUKAN

Altwajri, Ahmed O., 1997. Islam, Barat dan Kebebasan Akademis. Titian Ilahi Press. Jogjakarta.

An-Nabhani, Taqyuddin, 1953a, Nizamul-Islam, Daarul Ummah, Beirut, Libanon, Cet. V.

An-Nabhani, Taqyuddin, 1953b, At-Takatul-Hizby, Hizbut-Tahrir, Beirut, Libanon, Cet. III.

Boediono, 1999, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro, BPFE, Yogyakarta.

Deliarnov, 1997, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Rajawali Press, Jakarta.

Hamidi, Luthfi. 2007. Gold Dinar – Sistem Moneter Global yang Stabil dan Bekeadilan. Senayan Abadi Publishing. Jakarta.



Hizbur-Rab. 2002. Problems Created by the Fiat Money, Islamic Dinar and Other Available Alternatives. Dalam: Proceedings 2002 International Conference on Stable and Just Global Monetary System – Viability of The Islamic Dinar. International Islamic University Malaysia. Kuala Lumpur. Malaysia.

Rabu, 14 Agustus 2013

Penemu SMS (Sort Message Service)



Friedhelm Hillebrand dilahirkan pada tahun 1940 di Warstein, Jerman. Friedhelm Hillebrand dikenal sebagai Penemu Pesan Teks atau SMS (Short Message Service). Friedhelm Hillebrand memperoleh gelar Master of Science di bidang Teknologi Komunikasi dari Technical University of Aachen pada tahun 1968. Kemudian ia bergabung dengan Lembaga Penelitian AEG Telefunken di Ulm dan bekerja pada konsep sistem switching elektronik. Dia bergabung dengan Deutsche Bundespost, sebuah perusahaan telekomunikasi nasional, pada tahun 1970. Dari tahun 1976, ia menjadi bertanggung jawab mengembangkan konsep paket X.25 switching untuk jaringan DATEX-P dari konsep pertama sampai akhir tahun pertama pada tahun 1981. Dia kemudian menjadi manajer proyek ppointed untuk sistem komunikasi bergerak generasi berikutnya pada musim semi 1983.


Friedhelm Hillebrand berpartisipasi dalam pleno GSM dari November 1984 dan seterusnya. Ia memberikan kontribusi dibidang telekomunikasi untuk jasa desain, roaming internasional dan metode kerja manajemen. Pada 1987-1988 ia menjadi Ketua pendiri GSM data kelompok (IDEG, kemudian disebut WP4). Sejak pertengahan 1987, Friedhelm Hillebrand bertanggung jawab atas kontribusi GSM dari Deutsche Bundespost, dan berkerjasama dengan operator GSM dan pelaksanaan jaringan D1 GSM di Jerman. Dia bertanggung jawab untuk sistem D1 dan jaringan dan mendukung sistem TI hingga akhir tahun pertama pada tahun 1992. Pada tahun 1984 sebelumnya konsep SMS pertama kali dikembangkan oleh kerjasama Friedhelm Hillebrand dan peneliti seluler Prancis Bernard Ghillebaert. SMS pertama dikirimkan oleh Neil Papworth pada 1992 kepada Richard Jarvis, salah satu pegawai Vodafone. Karena ponsel saat itu tidak dilengkapi keyboard, Papworth mengetikkan pesannya pada PC. Bunyi pesan SMS pertama yang dikirim Papworth saat itu adalah "Merry Christmas". Ponsel GSM versi awal tidak dapat digunakan untuk mengirim SMS. Pada masa itu SMS hanya digunakan untuk mengirimkan peringatan dari operator kepada pengguna ponsel. Pada tahun 1993 Nokia menjadi produk yang pertama kali membuat ponsel dengan kemampuan kirim SMS.

Meski SMS tak langsung direspon positif oleh para pengguna HP, namun kini seiring waktu konsep penggunaan SMS kini berkembang sangat pesat hingga sekarang, bahkan mengalahkan penggunaan telepon. Saat pertama dikembangkan, penggunaan SMS belum memasyarakat seperti sekarang. Waktu itu, rata-rata pengguna telepon GSM hanya mengirimkan 0,4 SMS per bulan. Ini terjadi karena fasilitas untuk mengirim SMS waktu itu masih sangat terbatas. Tapi dalam perkembangannya, SMS kemudian menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Secara mengejutkan perkembangan penggunaan SMS terjadi tahun 2000. Waktu itu, setiap pengguna telepon seluler GSM mengirim 35 SMS setiap bulan. Di tahun 2006, keuntungan yang diraih oleh semua operator GSM di seluruh dunia dari bisnis SMS mencapai 60 miliar dolar Amerika. Harga rata-rata pengiriman SMS di dunia 0,11 dolar Amerika. Sehingga banyak yang menyebut Friedhelm Hillebrand sebagai "Bapak SMS" atau "father of text messaging atau SMS".

ASAL MULA PENGGUNAAN SMS 160 KARAKTER

Banyak teori yang menyebut tentang batasan 160 karakter. Namun, teori yang paling umum diketahui adalah batasan 160 karakter ini diciptakan oleh pengembang telekomunikasi dari Deutsche Telekom Jerman, Friedhelm Hillebrand. Seperti dikutip dari blog Los Angeles Times,


pada sebuah malam di tahun 1985, Hillebrand duduk di kamar rumahnya di Bonn sambil terus mengoceh dengan melontarkan sejumlah pernyataan dan pertanyaan. Saat itu, juru ketiknya diminta untuk mengetik setiap kata yang diucapkan Hillebrand. Selesai mengoceh, Hillebrand kemudian menghitung huruf, angka, jeda huruf, tanda baca, serta spasi di tiap halaman yang ada. Ternyata, ketika itu Hillebrand menemukan, hampir setiap ocehan yang terdiri dari satu atau dua baris hampir terdiri dari 160 karakter.

"Ini sangat tepat," kata Hillebrand, yang saat itu berusia 45 tahun.

Saat itu, pakar telekomunikasi memang sedang mengembangkan untuk membuat standar adanya sebuah teknologi yang memungkinkan ponsel untuk mengirim dan menayangkan pesan tulisan. Ide 160 karakter kemudian dicetuskan oleh Hillebrand bersama rekannya, Bernard Ghillebaert dari France Telecom, dalam pertemuan kelompok pengembang GSM di tahun 1985. Ide kedua orang itu kemudian menjadi semakin berkembang dan menjadi standar jumlah karakter dalam sebuah SMS.

Sebelum memulai penghitungan karakter itu, Hillebrand sendiri pernah berdebat dengan salah seorang teman mengenai manfaat pesan teks dalam komunikasi. "Teman saya menyebut itu tidak mungkin digunakan secara massal, tapi saya optimis," ucap Hillebrand. Optimisme Hillebrand ternyata terbukti. Mungkin, saat ini pesan teks melalui SMS lebih banyak digunakan ketimbang telepon. Hillebrand pun tak pernah berpikir bahwa temuannya kini banyak digunakan anak muda di seluruh dunia untuk memutuskan pacarnya.



Namun, Hillebrand tidak memperoleh keuntungan finansial dari karya yang diciptakannya. Karena tak ada royalti dalam penciptaan sms. Jika dalam tiap SMS Hillbrand memperoleh uang, dia berpikir, "Itu tentu akan menyenangkan," tutur Hillebrand. Namun, 160 karakter yang diciptakan Hillebrand ini kemudian semakin populer. Popularitasnya menjadi semakin terasa berkat seorang anak muda bernama Jack Dorsey yang menciptakan jejaring sosial bernama Twitter. Twitter kemudian mengadaptasi karya Hillebrand ini menjadi 140 karakter untuk tiap tweet. Jack Dorsey tampaknya memahami 'jasa' Hillebrand. Dalam sebuah tweet, Jack Dorsey memasang link mengenai sejarah SMS yang merupakan jasa dari Hillebrand. Dalam tweet yang ada link tentang sejarah SMS itu, Dorseymengakui pengaruh ciptaan Hillebrand dalam pembatasan 140 karakter di Twitter.

"Why text messages are limited to 160 characters (which influenced Twitter's 140)," tulis Dorsey dalam tweet-nya.

Referensi :

- http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/9780470689899.oth9/pdf
- http://www.kaskus.co.id/thread/50bcb758552acf5e7700003f/memperingati-20-tahun-sms

Siapa John Lennon?






John mengawali karir bersama The Beatles pada 1960. Bersama grup ini beberapa album yang dirilis di antaranya, Please Please Me (1963), With the Beatles (1963), A Hard Day's Night (1964), Beatles for Sale (1964), Help! (1965), Rubber Soul (1965), Revolver (1966), Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band (1967), The Beatles (1968), Yellow Submarine (1969), Abbey Road (1969) dan Let It Be (1970).

Selama 1970 sampai 1975, John menjalani karir solo, dengan album-album yang dirilis di antaranya, John Lennon/ Plastic Ono Band (1970), Imagine (1971), Some Time in New York City (with Yoko Ono 1972), Mind Games (1973), Walls and Bridges (1974), Rock 'n' Roll (1975), Double Fantasy (with Yoko Ono 1980), Milk and Honey (with Yoko
Ono 1984), dan lain-lain.
Setelah bubarnya The Beatles pada tahun 1970, ia juga sukses dengan karir solonya. Salah satu hitsnya yang hingga kini masih sangat terkenal adalah Imagine, lagu yang kemudian menjadi salh satu himne perdamaian dunia.
Lennon juga menunjukkan sifatnya yang pemberontak dan selera humornya yang sinis dalam film-film seperti A Hard Day's Night (1964), dalam buku yang ditulisnya seperti In His Own Write, konferensi pers dan wawancara. Ia menggunakan kepopulerannya untuk kegiatannya sebagai aktivis perdamaian, seniman dan penulis.
Lennon dua kali menikah, yaitu dengan Cynthia Powell di tahun 1962 dan seniman Jepang, Yoko Ono di tahun 1969. Ia memiliki dua orang anak, Julian Lennon (lahir tahun 1963) dan Sean Taro Ono Lennon (lahir tahun 1975). Ia meninggal di New York pada usia 40 tahun, ditembak oleh Mark Chapman, penggemarnya yang gila.
John Lennon, adalah salah satu penyanyi dan juga aktor legendaris dunia. Terkenal sebagai anggota dan pendiri grup musik The Beatles, bersama Paul McCartney, George Harrison dan Ringo Starr.
Referensi :
- http://selebriti.kapanlagi.com/john_lennon/
- http://beymine.blogspot.com/2009/05/biografi-john-lennon.html




JAMUR DAPAT BERFUNGSI SEBAGAI PENGGANTI SEMEN

        Selain lezat untuk dicampur sebagai bahan makanan, keberadaan jamur rupanya juga dapat memberikan fungsi lain, yakni sebagai bahan bangunan rumah pengganti semen. Hal ini yang sedang dikembangkan dan telah diperkenalkan oleh sebuah perusahaan konstruksi asal Amerika serikat, Ecovative.
Seperti dikutip dari Dailymail, “rumah jamur” ini dikembangkan menggunakan salah satu jenis jamur dari spesies miselium. Dimana tanaman vegetatif ini memiliki struktur berserat (terdiri dari jutaan serat kecil) yang juga dapat merekatkan sesuatu dengan kokoh.
Proyek ini sendiri telah mulai dikembangkan sejak tahun 2007 oleh Gavin McIntyre dan Eben Bayer dari Rensselaer Polytechnic Institute. Dimana Ecovative sering memanfaatkan jamur Miselium dalam berbagai manfaat, diluar masakan seperti yang selama ini melekat saat kita berbicara soal jamur.
Temuan karakter jamur Miselium yang kokoh awalnya ditemukan secara tidak sengaja oleh Eben. Dimana saat berjalan-jalan di hutan, ia tak sengaja melihat tumpukan kayu yang tertahan berkat keberadaan jenis jamur ini.
Dalam fungsi ekologis, jamur jenis ini sendiri dikenal dapat memberi manfaat dengan mengurai limbah. Seperti mengikat enzim, lemak protein dan bertindak sebagai lem, sehingga tak mencemari yang lain.
Dalam fungsinya membangun rumah, Ecovative, berhasik membangun struktur rumah kecil dari kayu pinus dan menuangkan campuran jamur dalam cetakan dinding, di mana ia dibiarkan tumbuh.
Cara ini diklaim akan membuat bagian tersebut sangat kokoh, bahkan jika dibandingkan dengan bahan beton.
Selain efektif, cara ini juga diklaim akan menghemat biaya material saat Anda membangun rumah atau bangunan. McIntyre mengatakan jamur ini akan bertindak sebagai pelekat alami yang pintar dan akan memperbaiki diri bagian rumah terlihat renggang, seperti sifat alaminya di alam.
Selain sebagai bahan bangunan pengganti semen, perusahaan Ecovative juga bereksperimen dengan berbagai ide lain menggunakan jamur yang satu ini. Termasuk membuat alat pelampung, bemper mobil dan sol sepatu.

Rabu, 05 Juni 2013

KARUNIA APA LAGI SETELAH BERBAUR DENGAN ASAL?

Suasana, yah mencari kesejukan di musim panas adalah sebuah masalah yang ingin kita atasi dalam waktu yang cepat. Solusi selain maksiat, adalah sebuah pengharapan demi terciptanya masalah baru, ketika ingin memecah sebuah masalah yang lama. Karena sejatinya masalah telah ada ketika mata mulai dikatakan terbuka dan menerima tempat entah dimana kaki beranjak, membuat kerusuhan yang diperlihatkan kepada ummat lain yang sama halnya dengan kita. Tak bisa kita terlepas dari kalimat itu, bahkan kita akan lebih galau ketika tak ada masalah yang dihadapi, makanya cari masalah dan jadikan dia sebagai teman yang baik untuk konsep kehidupanmu kedepan.

Sebarkanlah konflik ini kepada semua penikmat modernisasi yang sedang terlena dengan semua yang diperjual belikan, terhadap transparansi ketidakadilan yang mulai merambak keseluruh manusia yang tak beruang. Mengapa sampai seperti ini sekarang? Dari mana awal mula hal yang sulit didapat semua manusia ini muncul? Apa alasan mereka memperadakan ini? Ah tak banyak yang pusing dengan hal ini, lebih asyk katanya hidup dengan menatap semuanya dengan lowong perjuangan. Kita tidak begitu superheroes untuk berjuang seperti layaknya sebuah pahlawan dalam film-film perjuangan.
Hey kau yang dibutuhkan untuk membantu kami yang sedang pusing dengan hancurnya sistem masa kini, mana tangan-tangan dinginmu untuk manusia yang dijadikan tak layaknya manusia oleh manusia itu sendiri? Ah apa kamu lebih ingin melihat kehancuran? Kamu hanya sekali hidup loh. Tak perlu kau kecupkan bibirmu ke bibirku untuk membuat kenikmatan hidup tak bermanfaat. Lebih ingin kita berbuat untuk orang lain kali ini, maaf J.
Sebaiknya janganlah cepat tidur jika sebuah pengetahuan mulai memjadikanmu penasaran akan apa yang sebenarnya yang dipermainkan manusia-manusia serakah diluar sana, kawan-kawan “mereka ingin mengatur kita semua”, yah dia berfikiran bahwa ilmu adalah sesuatu yang bisa mengangkat jabatan dan menambah amunisi keuangan mereka, sehingga uang hanya terpusat di diri mereka,b mereka tak sadar bahwa orang lain juga butuh kawan. Konsep keserakahan yang disembunyikan dan ditutupi sehingga kita berbalik arah untuk mendewakan dan mendukung mereka semua.
Hehehe, kamu sebaiknya bersiap saja, sebelum mata melihat langsung manusia yang dicabik jantung dan tubuhnya. Sebab kehidupan setelah kita kembali keasal mungkin saja lebih menjanjikan seperti sabda yang sering terucapkan dalam kitab yang kita percayai sebagai perkataan tuhan. Jangan pedulikan kau akan tak hidup kembali, sebab temanmu sebanarnya adalah tanah, yah tanah yang sering dijadikan milik manusia. Tak pasti dan mutlak semua ini adalah dosa yang harus kau tanggung jika kau tak melaksanakan ibadah suruhan tuhan.
Tinggalkan semua bentuk kekayaan yang tercipta dari tangan manusia, saya yakin akan selama masih dan bahkan lebih parah dari peradaban yang tercipta sekarang aka nada hantu dan selanjutnya kita semua akan menjadi hantu yang akhirnya terciptalah kiamat dan jadilah kita ampas dan yang telah menuju tanah adalah semua yang selamat dari kekejian yang ada di depan mata.

sesekali berdoalah agar mati segera menarikmu dari hidup yang telah lama kacau ini.

Kamis, 14 Maret 2013

Lebih Kupilih Menghindar



Menangkap cahaya dimalam hari.
Cahaya kemilau dan juga embun.
Lingkaran kebersamaan telah dibumbuhi wajah palsu.
Mengizinkan kami untuk tersungkur dihari mendatang.

   Tunas mulai tumbuh di pesisir sungai.

   Terluapkan amarah dalam bentuk cerita.
   Terciptalah sebanyak mungkin korban.
   Tragedi tak lagi terelakkan.

Konflik kadang menciptakan kebersamaan yang lebih menarik.
Tapi kali ini amarah yang sebagai pembeda.
Karena tanpa ada harapan.
Karena aku tak lagi nyaman diatas pantai yang kau tawarkan.

   Sulit untuk tersenyum di hari ini.
   Sebab hati tak lagi menerima.
   Lebih baik aku menghindari.
   Daripada aku harus memperbaiki musuh.